Kemenparekraf Sudah Terbitkan 9 Ribuan Setifikat CHSE Hingga Saat Ini

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kemenparekraf Sudah Terbitkan 9 Ribuan Setifikat CHSE Hingga Saat Ini

Jauh Hari Wawan S - detikTravel
Rabu, 13 Okt 2021 17:35 WIB
Rapat Pimpinan Nasional PT Sucofindo 2021 di Yogyakarta, Rabu (13/10/2021).
Rapat Pimpinan Nasional PT Sucofindo 2021 di Yogyakarta, Rabu (13/10) (Jauh Hari Wawan S /detikTravel)
Yogyakarta -

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejauh ini telah menerbitkan ribuan sertifikat CHSE untuk destinasi wisata. Termasuk di dalamnya ada hotel dan restoran.

Seperti diketahui, sertifikat CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environment) pada masa pandemi ini jadi salah satu syarat agar objek wisata itu bisa uji coba buka. Untuk itu, pelaku wisata pun mulai mengejar untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Inspektur Utama Kemenparekraf Restog Krisna Kusuma menjelaskan, pihaknya selama dua tahun ini telah mengeluarkan ribuan sertifikat CHSE. Hingga batas waktu Oktober ini, ditargetkan 12 ribu destinasi wisata, hotel dan restoran telah mendapatkan CHSE.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"CHSE per tanggal 12 Oktober ini ada 9.288 peserta (yang sudah tersertifikasi) dari 397 kab kota di 34 provinsi," kata Restog ditemui saat Rapat Pimpinan Nasional PT Sucofindo 2021 di Yogyakarta, Rabu (13/10/2021).

Rapat Pimpinan Nasional PT Sucofindo 2021 di Yogyakarta, Rabu (13/10/2021).Rapat Pimpinan Nasional PT Sucofindo 2021 di Yogyakarta, Rabu (13/10/2021) (Jauh Hari Wawan S/detikTravel)

Dijelaskannya, tahun ini Kemenparekraf memiliki kuota 6.500 peserta. Sertifikasi ini, kata dia, sudah mulai dilakukan sejak tahun lalu. Pihaknya mentargetkan sebanyak 12 ribu usaha pariwisata sudah memiliki sertifikat CHSE.

ADVERTISEMENT

"Tahun ini sekitar 6.500 dari tahun lalu sekitar 5.800 yang dicapai, mudah-mudahan kita tercapai sekitar 12 ribu selama 2 tahun ini," ungkapnya.

Dikatakannya, pandemi corona sangat berdampak pada sektor pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan menurun drastis.

"Bahwa pariwisata sangat terdampak saat pandemi COVID-19. Virus ini berbanding terbalik dengan pariwisata. Saat virus menyebar kerumunan hilang. Sehingga di tahun 2019 targat wisatawan sebanyak 16 juta bisa tercapai. Tapi sekarang target 3 sampai 4 juta (wisatawan) saja saya belum yakin (bisa tercapai)," terangnya.

Oleh karena itu, Restog menjelaskan pada masa pandemi COVID-19 ini usaha pariwisata memang wajib mengantungi CHSE. Sebagai jaminan destinasi wisata itu aman dikunjungi wisatawan.

"Karena konsep CHSE ini memang diberikan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan," jelasnya.

Dalam kesempatan Rapimnas itu, pihak Kemenparekraf juga menyerahkan 5 sertifikat CHSE. Dua untuk museum yakni Museum Gunung Merapi dan Museum Benter Vredeburg, restoran dan juga untuk hotel.

Diwawancara di lokasi yang sama, Direktur Utama PT Sucofindo (persero) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan ada beberapa faktor yang membuat usaha pariwisata tidak lolos sertifikasi CHSE. Seperti diketahui, PT Sucofindo yang merupakan BUMN itu merupakan salah satu lembaga yang melakukan sertifikasi.

"Kami menguji sesuai standar yang ditetapkan oleh kementerian. Seperti kebersihan itu seperti lingkungan luar atau dalam, bagaimana mengelola limbah itu juga apakah sesuai standar atau tidak," kata Wigrantoro.

Faktor yang membuat pelaku wisata gagal uji sertifikat CHSE

Wigrantoro mengatakan selama ini pihaknya menengarai 3 faktor yang merupakan kendala bagi pelaku usaha pariwisata tidak lolos sertifikasi CHSE. Pertama, ketidaktahuan pihak usaha pariwisata.

"Jadi begini selama masa pandemi idealnya pelaku usaha pariwisata memperlakukan bisnis ini tidak seperti perlakuan seperti biasa, karena ada jarak dan lain sebagainya. Sebagian besar masih menganggap tidak ada Corona. Kalau paradigma itu masih ada itu maka itu faktor pertama (yang membuat tidak lolos)," jelasnya.

Kedua, lanjut Wigrantoro, selama pandemi tentu usaha pariwisata mengeluarkan biaya tambahan. Terutama untuk menambah fasilitas untuk penerapan protokol kesehatan.

"Kemudian kedua adanya tambahan biaya, bahwa untuk menyediakan layanan yang bersih, sehat itu ada tambahan biaya. Tapi tidak semua pelaku usaha itu peduli. Ada yang mampu tapi tidak peduli wong gini aja sudah laku," bebernya.

Faktor ketiga, yakni terkait pengetahuan tentang teknis protokol kesehatan itu.

"Ketiga pengetahuan terhadap teknis, karena pemilik itu belum tentu yang mengelola. Nah, pengetahuan pemilik dan komitmen pemilik itu tidak sama dengan komitmen pengelolanya," pungkasnya.




(rdy/rdy)

Hide Ads