Sudahi Joged Bumbung yang Erotis, Kembalikan ke Makna Aslinya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Sudahi Joged Bumbung yang Erotis, Kembalikan ke Makna Aslinya

Putu Intan - detikTravel
Rabu, 05 Okt 2022 19:05 WIB
A Balinese woman (C) performs a traditional dance of Joget Bumbung during the 35th Bali Art Festival in Denpasar on Indonesias resort island of Bali on July 4, 2013.  The Joged Bumbung Dance is one of the few exclusively secular dances of Bali, in which the brightly-dressed dancer invites men from the crowd to dance with her in a pretence of seduction.     AFP PHOTO / SONNY TUMBELAKA        (Photo credit should read SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images)
Joged bumbung Foto: Sonny Tumbelaka/AFP/Getty Images
Jakarta -

Guru Besar Universitas Udayana I Gde Pitana ingin Joged Bumbung yang menyimpang dengan bumbu erotisme dihentikan. Tari itu harus dikembalikan ke makna aslinya.

Joged Bumbung adalah tarian pergaulan yang berasal dari Bali. Tari ini melibatkan penari perempuan dengan pengibing (penyawer) yang merupakan penonton laki-laki.

Menurut Pitana, tarian ini sebenarnya sudah eksis selama ratusan tahun. Tarian ini juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada 2015. Joged Bumbung adalah kesenian warisan nenek moyang yang mulanya tidak melibatkan unsur erotis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Joged Bumbung melibatkan penari dan penonton yang ingin menunjukkan kepiawaian mereka menari. Karena tari pergaulan, ada gerakan lucu yang membuat orang tertawa," katanya.

Hanya saja dalam waktu 5-10 tahun belakangan, Joged Bumbung dipraktikan dengan vulgar.

ADVERTISEMENT

Kepada detikcom, Pitana mengatakan ia sampai tidak mampu menonton pertunjukan itu karena sudah jauh dari makna aslinya. "Saya tidak mampu nonton Joged Bumbung karena saya malu sendiri melihat gerakan-gerakan dan adegan seks-nya yang sangat vulgar," katanya ketika dihubungi, Rabu (5/10/2022).

Pitana menjelaskan, banyak pihak yang sebenarnya sudah menegur praktik Joged Bumbung yang menyimpang ini, termasuk kaum intelektual dari Udayana. Menurutnya, penyimpangan itu sudah terjadi sekitar 5-10 tahun terakhir.

"Kami para intelektual Udayana sudah lama menggaungkan untuk stop jaruh (erotis), stop joged porno, stop erotik berlebihan tetapi pasar mengatakan lain. Kalau tidak porno tidak ada yang nonton, tidak ada yang order," ujarnya.

Sementara itu, praktik di lapangan semakin meresahkan. Para penikmat Joged Bumbung ini bukan saja orang dewasa, bahkan remaja dan anak-anak juga ikut menonton.

"Anak SD juga nonton. Kalau anak kecil nonton, besok diikuti gerakannya di sekolah bagaimana? Saya sedih melihat ini," kata Pitana.

Untuk mengembalikan citra Joged Bumbung, pemerintah telah berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap para kelompok tari yang ada di seluruh penjuru Bali. Tak hanya itu, pemerintah bekerja sama dengan para pemerhati seni juga terus melakukan upaya perbaikan.

Salah satunya yaitu dalam gelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV yang diadakan pada bulan Juni lalu. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, PKB merupakan ajang untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian Bali, terutama seni pertunjukan Bali.

Menanggapi hal ini, Pitana mendukung penuh upaya pemerintah. Hanya saja ia juga berharap ada ketegasan agar baik penari maupun penonton sama-sama jera melakukan tari erotis.

"Di awal harus ada tindakan tegas. Sekarang semua desa adat harus diberlakukan aturan keras. Siapa yang ketahuan akan diajukan ke meja hijau sesuai UU Pornografi," pungkasnya.

Pitana ingin komitmen pemerintah ini dilakukan secara konsisten. Ia percaya, masyarakat Bali dapat mendulang pundi-pundi uang tanpa erotisme. "Pasti ada inovasi-inovasi baru yang tidak hanya mengandalkan dada dan paha. Orang Bali kan kreatif," pungkasnya.




(pin/ddn)

Travel Highlights
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikTravel
Joged Bumbung Ternodai Erotisme
Joged Bumbung Ternodai Erotisme
8 Konten
Tarian tradisional Bali Joged Bumbung sudah tercatat sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO sejak 2015. Hanya saja, tari ini ternodai erotisme.
Artikel Selanjutnya
Hide Ads