Museum sebagai spot wisata edukasi telah dikenal sejak lama. Namun seiring waktu, popularitasnya kian memudar. Lalu apa yang harus dilakukan?
Para pelajar sekolah kerap menggelar kegiatan rekreasi ke berbagai destinasi. Dulu, Museum kerap kali masuk list destinasi tujuan prioritas untuk wisata, khususnya wisata edukasi. Namun saat ini, para pelajar dirasa lebih tertarik mendatangi tempat lain.
Indonesia sendiri tercatat memiliki total 439 museum, menurut website resmi kemdikbud.go.id. Terkhusus museum konvensional, kurangnya minat pengunjung dipengaruhi faktor internal maupun eksternal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada faktor eksternal, museum saat ini berhadapan langsung dengan beragam destinasi pilihan lainnya seperti wisata alam, wisata permainan, tempat nongkrong, mall, galeri, hingga museum yang kekinian. Hal tersebut juga diafirmasi oleh pengajar di SMP Islam Al Fath Plantungan, Kendal, Ria Rizki.
"Sebenarnya bukan museumnya yang nggak menarik sih, tapi minat orangnya yang kurang. Karena kalau kita lihat anak-anak saat ini mereka lebih suka yang estetik dan bagus difoto. Karena kalau di museum itu kan nggak terlalu menarik bagi anak zaman sekarang. Makanya anak-anak sekarang itu lebih ke laut, danau, gunung, gitu-gitu," ujarnya kepada detikTravel..
detikTravel bertanya kepada para pendidik, banyak dari mereka menyebut faktor internal museum juga perlu dibenahi. Mulai dari ruangan yang mesti terjaga suhunya agar tetap adem, kebersihan, fasilitas penunjang, koleksi, hingga pemandu museum yang memadai.
"Biar pelajar lebih tertarik itu mungkin penjelasan dari pendampingan di museum itu menjelaskannya lebih baik lagi. Mungkin pernah saya lihat juga kebersihannya perlu ditingkatkan," ujar Wakil Kepala Sekolah SMP Perguruan Cikini, Zakiyatul Fikriyyah.
Lalu bagaimana cara museum dapat menarik di mata pelajar sebagai pilihan wisata edukasi? Museolog sekaligus Dosen Universitas Indonesia, Ajeng Ayu Arainikasih, menyebut ada tiga aspek yang dapat ditingkatkan oleh museum agar dapat menarik.
"Yang pengunjung lihat kan pasti satu adalah fasilitas museum, terus kedua pamerannya, yang ketiga program. Justru tiga-tiganya itu yang menurut saya adalah sumber masalah paling besar di museum," ujarnya kepada detikTravel.
Ia menilai hal itu tidak berubah dari masa ke masa. Museum baginya, harus selalu relevan dan mengikuti kebutuhan serta perkembangan zaman.
"Istilahnya kalau fasilitasnya aja kurang, mau ke toilet aja kurang nyaman, atau misalnya habis dari museum mau makan aja bingung gitu kan, nggak ada kafe-nya atau apa gitu. Kedua, suhunya juga kadang-kadang panas. Saya sering dapat komplain dari teman yang mengeluh 'panas banget sih museum'," ucapnya.
Selain itu, yang perlu ditingkatkan adalah pelibatan pengunjung. Hal itu agar pengunjung tak hanya pasif menerima informasi, yang beresiko menjenuhkan.
"Ada beberapa museum yang sudah bagus, sudah pakai teknologi digital terkini. Tapi tetap aja itu masih pasif. Jadi museum itu kita sebagai pengunjung cuma lihat. Paling maksimal, mendengar. Padahal kebudayaannya kita sekarang, way of life-nya kita sekarang, itu bukan cuma sebagai konsumen, tapi juga creator," imbuhnya.
"Kita share, kita create, kita nge-like, kita reshare. Nah, sebenarnya itu yang seharusnya diubah sama museum. Sesuatu yang pasif itu seharusnya sekarang sudah tidak lagi pasif. Jadi kalau di Ilmu Museologi itu ada namanya pendekatan inklusif, interaktif, dan participatory. Jadi sebenarnya pameran museum bisa didesain sedemikian rupa untuk pengunjung berinteraksi dengan konten dan objeknya tanpa harus merusak objek dan dengan menarik jadi gak cuma lihat dan baca label, lihat koleksi baca label," tuturnya.
Ajeng mengambil contoh tentang museum di luar negeri. Misalnya saat ia tinggal di Australia, ia sempat berkunjung ke museum maritim. Berkunjung ke sana, pengunjung akan dilibatkan dengan berbagai hal interaktif melalui activity book dan berbagai eksperimen.
Seperti rombongan sekolah anaknya yang diajak mengenal lumba-lumba lewat games untuk anak-anak. Ia berujar, aktivitas di museum juga tersedia untuk berbagai jenjang umur berbeda dengan berbeda pula kegiatannya.
"Ada program untuk anak sekolah, keluarga juga programnya beda lagi. Program untuk lansia beda lagi. Anak-anak dan keluarga dengan special needs beda lagi. Jadi mereka bisa akomodir." ucapnya.
Namun agenda tersebut tak hanya dapat dibuat oleh pihak museum. Pihak sekolah pun juga bisa membuat secara mandiri jika museum tidak menyediakan aktivitas menyenangkan.
"Sebenarnya kalau sekolahnya niat gitu ya mau ke mana, dibuat dulu aja daftar aktivitas yang menarik, kalau museum yang ingin dikunjungi nggak punya. Selain cuma LKS, Worksheet yang harus diisi. Game itu kan juga bisa sebenarnya. Cuma ya extra effort lagi sih buat guru dan sekolah," pungkasnya.
(wkn/ddn)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Sepi, Waktu Tempuh 1,5 Jam dari Bandung Jadi Biang Kerok?
TNGR Blokir Pemandu Juliana Marins, Asosiasi Tur Bertindak