Hostel di Jalan Jaksa mempunyai cara unik untuk menggaet turis asing menginap di tempatnya. Mereka menjemput bule-bule dari bandara menggunakan becak.
Pemilik Wisma Delima, Boy Lawalata, menceritakan awal mula keluarganya merintis bisnis hostel di Jalan Jaksa. Boy mengatakan orang tuanya, Nathanael Lawalata, setelah pensiun memutuskan membuka penginapan di rumah pribadi pada tahun 1969.
Orang tua Boy yang pernah berkuliah di Amerika Serikat membuat mereka familiar dengan orang asing. Mereka membuka penginapan khusus backpacker asing yang datang ke Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Boy kecil masih ingat kala dia bersama keluarga menggunakan cara manual untuk mempromosikan hostel mereka. Mereka akan datang ke Bandara Kemayoran lalu menjemput bule-bule yang belum mendapatkan tempat bermalam.
"Waktu itu tahun 69 kita kan menjemput tamu dengan becak di Kemayoran. Jadi kita ke sana nungguin. Mulai turun, kita tawari menginap di Jaksa. Lalu kita antar pakai becak," dia mengisahkan.
Masih segar dalam ingatan kala itu penampakan Jalan Jaksa belum moderen seperti sekarang. Jalanannya belum beraspal. Pun penerangan tidak sebanyak sekarang.
"Masih gelap. Jakarta kan masih belum kayak sekarang," ujarnya.
![]() |
Baca juga: Jalan Jaksa Riwayatmu Kini... |
Para tamu di Wisma Delima umumnya adalah anak-anak muda. Itu terlihat dari buku tamu yang ditunjukkan Boy kepada detikTravel.
Buku tamu itu menyimpan data para backpacker yang pernah menginap, mulai dari nama, asal negara, usia, foto, hingga kesan mereka selama menginap di Wisma Delima.
"Backpacker itu umumnya anak muda ya. Jadi kalau kita kebanyakan dari Eropa, kalau Australia sudah pasti karena dekat. Jadi kebanyakan dari Belanda, Jerman, Prancis," kata dia.
Untuk tarif, para tamu dikenakan biaya USD 1 atau sekitar Rp 250. Biaya murah ini tentunya disukai para backpacker.
Mereka tinggal di kamar yang berbentuk seperti asrama. Di dalamnya terdapat kasur tingkat.
"Jadi, satu kamar ada 30-40 orang," kata dia.
![]() |
Untuk makanan, menunya disediakan keluarga Boy. Mereka akan diajak makan bersama di ruang makan layaknya keluarga.
"Mereka umumnya merasa seperti di rumah sendiri," ujar Boy.
Suasana homey agaknya menjadi faktor lain yang membuat para bule ini betah menginap di Wisma Delima. Apalagi, di sini juga tidak terdapat aturan jam malam yang mengekang mereka.
Suasana itu pula yang ditumbuhkan orang tua Boy di sepanjang Jalan Jaksa. Dia merintis pusat wisata di Jakarta bukan lewat gedung-gedung tua, pemandangan alam, atau keajaiban teknologi. Keluarga Lawalata menciptakan keramahan, kesederhanaan, dan tangan terbuka kepada turis asing.
Sayangnya, seperti moda transportasi yang digunakan untuk menjemput wisatawan asing kala itu, becak, keramah-tamahan, keterbukaan, dan kesederhanaan punah dari Jakarta.
Baca juga: Masihkah Ada Bule di Jalan Jaksa? |
(pin/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol