Desa Jepang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Sejarah desa ini tidak terlepas dari kehidupan Aryo Penangsang, yang kemudian dikenal sebagai Adipati Jipang.
Desa ini bermula dari kebiasaan Aryo Penangsang yang sering singgah di wilayah ini saat perjalanan menuju Pondok Pesantren Sunan Kudus.
Pada masa lalu, Desa Jepang merupakan sebuah rawa besar, di mana Aryo Penangsang sering menambatkan perahunya setelah menempuh perjalanan dari Kadipaten Jipang (kini wilayah Kabupaten Blora).
Sunan Kudus yang mengetahui kebiasaan muridnya merasa iba dan memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid di lokasi tersebut. Masjid tersebut tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat istirahat bagi Aryo Penangsang.
Proses pembangunan masjid ini dimulai oleh Sunan Kudus dan dilanjutkan oleh Aryo Penangsang. Masjid tersebut kemudian diberi nama Masjid Wali karena memiliki Soko Papat, sebuah konstruksi masjid yang terbuat dari kayu utuh, serupa dengan masjid-masjid yang dibangun oleh para wali.
Masjid Wali Al Makmur ini juga memiliki gapura yang mengingatkan pada Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1917 Masehi, seorang ulama dari Desa Karangmalang, Sayyid Dloro Ali, memberikan tambahan nama "Al Makmur" kepada masjid ini, seperti yang tercatat dalam prasasti.
Nama ini menjadi penghormatan terhadap keberkahan dan kemakmuran yang diyakini terpancar dari masjid tersebut.
Seiring waktu, Masjid Wali Al Makmur di Desa Jepang tidak hanya menjadi pusat kegiatan keagamaan tetapi juga menjadi lambang sejarah dan kearifan lokal.
Desa Jepang menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kehidupan spiritual dan keagamaan yang memberikan warna dan makna mendalam pada sejarahnya.
Meski memiliki nama 'Jepang', desa ini tidak berhubungan sama sekali dengan negeri matahari terbit.
Namun uniknya, di Desa Jepang ini terdapat pasar yang diberi nama Pasar Tokiyo. Sekilas, namanya mirip ibu kota Jepang, Tokyo.
Pasar itu lokasinya di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo. Mudah saja menemukan pasar tersebut karena terletak di pinggir jalan.
Pedagang menempati kios dan los di pasar yang dibangun pada tahun 2021 ini. Ada ratusan pedagang melakukan transaksi jual beli sehari-hari.
Kepala Desa Jepang, Indarto mengatakan awalnya banyak pedagang kali lima (PKL) berjualan di pertigaan desa. Jumlahnya ada 100-an lebih. Mereka berjualan setiap pagi saja.
Terkait nama, kata Indarto mirip dengan nama ibu kota sekaligus pusat ekonomi Negara Jepang yakni Tokyo. Hanya penulisan pasar ditulis 'Tokiyo'.
Menurutnya hal tersebut untuk lebih mengenal pasar yang ada di Desa Jepang. Sebab, desanya diidentikkan warga luar daerah sama dengan Negara Jepang.
"Ini kebetulan desa kami adalah Jepang, dan ini pasar desa yang ada di Desa Jepang kami pengin untuk membuat ikon yang masyarakat mudah mengingat. Kita coba mencari nama yang hampir senada terkenal di luar Negeri, seperti itu," ujarnya.
Baca juga: Bandara di Jepang Ini Terancam Tenggelam |
Berita selengkapnya baca di detikJateng.
(pin/pin)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan