Dear Bu Menpar Kota Lama Terancam Tenggelam, Wisata Semarang Dipertaruhkan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Dear Bu Menpar Kota Lama Terancam Tenggelam, Wisata Semarang Dipertaruhkan

Arina Zulfa Ul Haq - detikTravel
Senin, 17 Nov 2025 13:19 WIB
Banjir di kawasan Museum Kota Lama, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (28/10/2025).
Banjir di kawasan Museum Kota Lama, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (28/10/2025). (Arina Zulfa Ul Haq/detikcom)
Semarang -

Peringatan keras disampaikan oleh Walhi Jawa Tengah untuk Kota Lama, Semarang. Kawasan wisata itu diprediksi menjadi lautan pada 2045 sehingga mengancam bangunan bersejarah dan masa depan pariwisata Jawa Tengah.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng), Fahmi Bastian, mengatakan Pantura, termasuk Kota Semarang, Pekalongan, Demak, berada dalam kondisi yang sangat kritis. Penilaian itu disampaikan setelah Jalan Pantura Kaligawe direndam banjir selama lebih dari sepekan.

Kondisi itu dinilai menjadi indikator kuat Pantura mengalami penurunan muka tanah (land subsidence) yang begitu mengerikan. Dia memprediksi kondisi itu makin parah dengan perubahan iklim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia bilang andai tidak ada langkah mitigasi serius kawasan Kota Lama Semarang bisa tenggelam dan berubah menjadi lautan pada 2045.

"Land subsidence kalau di Semarang di angka 8-12 cm. Tapi tiap tahun nggak sama, 5 cm. Ya, 2045 seperti Kota Lama itu ya juga sudah bisa jadi lautan itu," kata Fahmi di Kecamatan Semarang Selatan, Sabtu (15/11/2025) dilansir detikJateng.

ADVERTISEMENT
Direktur Walhi Jateng, Fahmi Bastian di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Sabtu (15/11/2025).Direktur Walhi Jateng, Fahmi Bastian di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Sabtu (15/11/2025). (Arina Zulfa Ul Haq/detikcom)

Sementara itu, di beberapa titik, land subsidence Pekalongan bahkan mencapai 15 cm per tahun. Nah, saat tanah turun dan air laut naik maka batas antara kota dan laut menjadi kabur. Jika kondisi itu tidak ditekan, banyak kawasan wisata bisa tenggelam.

Bagi pariwisata Semarang, kondisi itu dinilai berbahaya, sebab Kota Lama adalah ikon wisata sejarah Semarang. Saat ini, Kota Lama menawarkan berbagai destinasi wisata, bahkan masuk daftar potensi wisata yang dikembangkan oleh InJourney sebagai bagian dalam pengembangan pariwisata Joglosemar (Jogjakarta, Solo, dan Semarang).

Kota Lama Semarang boleh dibilang telah bertransformasi dalam 10 tahun terakhir menjadi destinasi wisata yang relatif komplet dengan kafe, restoran, hotel, galeri seni, dan area parkir. Duet Pemkot Semarang dan Kementerian PUPR pada 2015-2020 dengan merevitalisasi kawasan itu menghasilkan perbaikan fasad bangunan cagar budaya, penataan jalan dan pedestrian, pemasangan paving dan jalur drainase modern, penataan lampu-lampu heritage, penguatan struktur bangunan tua, dan penataan taman dan ruang publik.

Kesan bangunan tua tak terawat, jalanan gelap, serta kawasan yang dianggap "mati" setelah petang pada area bersejarah seluas 31 hektare itu pun berganti.

Kini, Kota Lama Semarang menjelma menjadi salah satu destinasi wisata heritage paling hidup di Indonesia, bahkan mulai diperhitungkan sebagai calon world-class heritage tourism district.

Merujuk sejumlah sumber, Kota Lama dikunjungi hingga 1,8 juta wisatawan per tahun. Jumlah kunjungan tiap akhir pekan, bisa mencapai 30.000-50.000 wisatawan.

Destinasi wisata pun tidak hanya bertumpu pada Gereja Blenduk yang menjadi ikon area itu, tetapi juga muncul Semarang Gallery, Spiegel Bar & Bistro, Taman Srigunting, Kota Lama Park, dan OldTown 3D Trick Art Museum, serta berbagai hotel dam restoran.

Senada, Pantura juga bukan hanya menjadi jalur logistik, tetapi merupakan jalur wisata yang menyangga berbagai destinasi budaya, kuliner, heritage.

Fahmi mengatakan banjir besar yang merendam Pantura selama dua pekan lalu adalah sinyal keras bahwa kawasan tersebut memasuki fase kritis. Dia bilang tenggelamnya pesisir bukan hanya soal rob atau cuaca ekstrem, tetapi lebih kompleks, yakni disebabkan oleh kombinasi kerusakan ekologis dari hulu hingga hilir.

Salah satu penyebab yang memperparah kondisi itu adalah ekosistem mangrove yang rusak dan proyek Tanggul Laut Semarang-Demak yang belum tuntas, termasuk kolam retensi yang seharusnya menampung air yang tidak kunjung selesai.

Selain itu, sungai-sungai yang mengalir ke Semarang dan Demak sudah tidak mampu menampung debit air karena tidak pernah dinormalisasi secara serius. Wilayah tangkapan air (catchment area), seperti Mijen dan Ngaliyan juga rusak akibat pembangunan perumahan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah.

Fahmi menuntut pemerintah segera melakukan upaya untuk menangani kondisi Pantura yang sudah berada dalam fase kritis itu.

"Satu kolam retensi itu harus ada, kedua harus ada pengembangan ekosistem mangrove, ketiga menormalisasi sungai-sungai yang masuk di Semarang ataupun di Demak yang menjadi titik-titik banjir, keempat melihat bagaimana landscape dari wilayah," kata dia.




(fem/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads