Jakarta seringkali disebut salah satu kota di dunia yang akan tenggelam beberapa dekade ke depan. Namun, faktanya Semarang diprediksi lebih cepat 'menyatu' dengan lautan dibandingkan Jakarta.
Semarang sedang hangat dibicarakan terkait dengan prediksi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng), Fahmi Bastian memprediksi kota ini akan menjadi lautan tahun 2045. Fahmi mengingatkan bahwa kawasan pesisir utara atau Pantura Jateng sudah berada dalam kondisi kritis.
"Pantura termasuk Kota Semarang, Pekalongan, Demak, berada dalam kondisi yang sangat kritis, dilihat dari banjir yang merendam hingga seminggu lebih di Jalan Pantura Kaligawe, hingga penurunan muka tanah (land subsidence)," katanya, dikutip dari detikJateng.
Ketiga daerah itu disebut paling berpotensi tenggelam akibat krisis iklim. Jika tidak ada langkah mitigasi serius, ia bahkan menyebut kawasan Kota Lama Semarang bisa tenggelam dan berubah menjadi laut pada 2045.
"Land subsidence kalau di Semarang di angka 8-12 cm. Tapi tiap tahun nggak sama, 5 cm. Ya, 2045 seperti Kota Lama itu ya juga sudah bisa jadi lautan itu," kata Fahmi, Sabtu (15/11/2025).
Sudah lama diprediksi
Prediksi Semarang tenggelam ini telah lama dibicarakan lho. Dalam penelitian yang dipublikasikan Geophysical Research Letters pada tahun 2023, Semarang berada di posisi kedua dalam kategori kota paling cepat tenggelam di dunia. Di posisi pertama yaitu Tianjin, China dan diposisi ketiga adalah Jakarta.
Mundur lagi ke tahun 2021, Kepala Laboratorium Geodesi dari ITB, Dr Heri Andreas memprediksi Kota Pekalongan, Demak dan Semarang terancam tenggelam karena penurunan permukaan tanah. Heri mengungkap penurunan tanah di Pekalongan-Demak itu mencapai 15-20 cm per tahun.
Pernyataan Heri ini juga diperkuat oleh penelitian Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr Denny Nugroho Sugianto. Dia mengatakan bahwa Semarang akan tenggelam 50 tahun lagi karena penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah yang masif. Selain itu, penurunan muka tanah di Semarang beragam dengan rata-rata 10-12 sentimeter per tahun.
"Penurunan tanah beragam ada 2 cm, 3 cm, 5 cm, sampai rata-rata 10-12 cm per tahun. Penggunaan air tanah berlebihan, jadi tanah cepat turun. Selain itu sifat sedimentasi di pantai Semarang itu sedimentasi aluvial. Pernah dengar kan dulu Semarang itu sampai daerah Sam Po Kong adalah perairan? Nah, ini seperti mau kembali," jelasnya.
Dia menambahkan pemanasan global juga berdampak pada meningkatnya air laut. Dia pun berharap pemerintah tegas dalam penataan ruang berbasis mitigasi rob.
"Penataan ruang harus berbasis mitigasi rob. Daerah kantong air tidak boleh lagi dilakukan pembangunan baik komersil atau pemukiman," terang pengajar di Departemen Oseanografi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip ini.
Fakta ini juga diperkuat oleh hasil pengukuran Badan Geologi Nasional dari dua patok dalam BM (Benchmark) yang dipasang di sekitar Stadion Hoegeng dan di Pekalongan Selatan, yang menyebutkan penurunan muka tanah di Pekalongan per bulan mencapai 0,5 cm, artinya 6 cm per tahun.
"Kalau kita lihat rata-rata per bulan, ada penurunan tanah 0,5 cm itu patok dalam di Stadion Hoegeng, penurunannya 6 cm per tahun," kata Kepala Bappeda Kota Pekalongan, Anita Heru Kusumorini saat dihubungi wartawan (4/8/2021) lalu.
Simak Video "Video Jalan Pantura Semarang-Demak Banjir, Motor Tak Bisa Lewat"
(sym/ddn)