17 Agustus 2008 di G.Tambora

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

17 Agustus 2008 di G.Tambora

Widayani - detikTravel
Selasa, 08 Feb 2011 14:47 WIB
Jakarta - Gunung Tambora bukanlah hal yang baru dihatiku, setidaknya bertahun yang lalu aku sempat membaca tentang gunung yang luar biasa itu, dari ledakannya yang maha dasyat di tahun 1815. Dikisahkan suara ledakannya yang terdengar sampai Pulau Sumatra, mengilangkan separuh ketinggiannya, memusnahkan beberapa kerajaan kecil disekitarnya dan bahkan menciptakan cuaca dingin berkepanjangan di Eropa yang diduga merupakan penyebab kekalahan Napoleon diperang Waterloo yang fenomenal. Tidak begitu lengkap memang, hingga datanglah undangan seorang teman di Sumbawa untuk bergabung dalam trip 17 Agustus 2008.

Tidak ada persiapan khusus untuk trip ini, bahkan terkesan sangat dipaksakan. Aku yang saat itu disibukkan dengan aktifitas MC, Manager SPG dan siaran harus mengatur jadwal sedemikian rupa dalam sehari. Sempat terbersit trip ini akan gagal karena fee untuk para SPG belum juga cair. Namun Tuhan mungkin memang telah menjodohkanku dengan Gunung ini. Jam 3 sore akhirnya aku bisa meninggalkan kota Madiun dengan tenang. Sampai di Surabaya sekitar pukul 20.00 dan akhirnya dengan sebuah bis tidak terlalu bagus aku menuju Bali. Esok harinya sampai Bali langsung mencari bis menuju Mataram.

Sekitar pukul 21.00 sampailah di Mataram. Seorang teman telah menjemput bersama dua teman dari kota Malang. Untuk selanjutnya petualangan dimulai dari sini setelah menginap semalam diMataram kami melanjutkan menjemput seorang rekan di Lombok timur yang sedang memanen daun emas (tembakau Virginia) sedikit mencicipi malah. Setelah bermalam diLombok dini hari kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa. Malam-malam melintasi laut keren juga ternyata, apalagi kapal bisa dibilang kosong. Kapal bekas dari Jepang itu memang luar biasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pagi menjelang kami menjemput tamu kami Prof. Widjajono Partowidagdo dan asisitenya P. Muji dari ITB di Sunset View Sengkokang. Penginapan keren disebuah teluk yang menawan dan bahkan 80 persen tamunya adalah bule. Menjelang tenggah hari perjalanan berlanjut keDompu,kami sempat berma lam didaerah Plampang. Sepanjang perjalanan sangatlah menarik karena Prof slalu menceritakan banyak hal termasuk G.Tambora. Keesokan harinya kami lanjutkan perjalanan ke Dompu. Kali ini kami menuju rumah seorang pengamat G.Tambora Bp. Abdul Haris, dengan segala keramahannya kami diantar ke Tambora padahal beliau baru saja pulang dari kabupaten untuk melaporkan dampak gempa beberapa waktu sebelumnya. Perjalanan ke Tambora kami pilih jalur termudah karena keterbatasan waktu Prof. yakni jalur Doropeti, jalur ini sebelumnya merupakan jalur pemburu dan beberapa tahun lalu sempat disterilkan karena Bp. Bupati berkenan untuk melakukan upacara kemerdekaan disalah satu lereng Tambora.

Perjalanan tidak kami habiskan melulu dimobil. Setiap tempat yang menarik pasti kami abadikan termasuk ketika melihat kawanan kuda liar. Sekitar 500 meter menuju tempat pemantauan yang bakal jadikan camp menginap kami ternyata kondisi jalan tidak memungkinkan untuk dilalui mobil kami. Dengan semangat kami turunkan seluruh perlengkapan dan berjalan terseok menuju pos pemantauan. Menjelang sore kami telah mendirikan tiga buah tenda doom untuk istirahat malam ini dan mempersiapkan sunset esok harinya, namun sebelumnya kami telah mengibarkan Bendera Merah Putih besar. Namun ternyata kami tidak begitu mudah untuk istirahat karena asisten Prof. sempat menghilang dan ketemu beberapa waktu kemudian dan usut punya usut kata beliau ternyata barusan kepuncak sendirian. Meski gemes namun kami lega.

Pukul 02.00 dini hari kami bangun dan memulai pendakian dan kaldera luar biasa menjadi pengobat lelah kami. Kaldera dengan diameter 7 km dengan kedalaman 1,5 km layaknya mangkuk raksasa yang berasap panas. Syukur tak henti kami panjatkan meski tak kami temui seekor kijangpun. Kami kibarkan Merah Putih dan bersyukur kepada Tuhan untuk kemerdekaan bangsa ini, untuk segala panjangnya umur kami hingga dapat menyaksikan dan mengibarkan Merah Putih di 17 Agustus 2008 ini. Disini aku sempat bercanda dengan Prof. jika punya anak dikasih nama Tambora pasti bagus. Dan sempat juga terbersit itu nama yang keren. Karena kami rasa cukup bergegas kamipun turun,berberes dan kembali kerumah Bp. Abdul Haris. Sesampainya dirumah Bp.haris kami bertemu dengan rekan Bp. Haris. Aku tak sempat konsentrasi disini karena beliau bercerita tentang asal usul nama Tambora dan begitu beliau menyebut bahwa Tambora itu berarti anak hilang. Aku, Prof. Widjajono dan teman yang lain hanya mampu terbahak. Perjalanan menakjubkan dan aku yakin itu keajaiban Tuhan. Berdoalah teman

(travel/travel)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads