Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring

Pandu Wijaya Saputra - detikTravel
Selasa, 13 Jun 2023 15:31 WIB
loading...
Pandu Wijaya Saputra
Suasana kaki Gunung Halimun
Pemukiman warga Desa Adat Ciptagelar
Lumbung padi di Desa Adat Ciptagelar
Jalan masuk kasepuhan terdapat deretan lumbung padi di Desa Adat Ciptagelar
Suasana rumah kepala adat Desa Adat Ciptagelar
Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring
Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring
Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring
Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring
Desa Cantik Sukabumi yang Selalu Berpindah, Jalan Sangat Jelek Adalah Penyaring
Jakarta -

Perjalanan malam itu adalah pengalaman yang tak pernah ingin saya ulangi. Mobil kami harus melalui jalan terjal di kaki Gunung Halimun.

Sepanjang hampir dua jam kami melaju di jalan berbatu nan sempit. Hanya mengandalkan cahaya bulan dan lampu mobil, selama perjalanan kami dibayangi jurang di sepanjang tepian.

Kami akhirnya menyerah di suatu titik jalan yang sangat menanjak. Kami putuskan memutar balik. Pilihan yang sebenarnya juga tidak logis karena hampir tidak ada ruang di sudut manapun di jalan itu untuk memutar mobil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alih-alih, mobil kami bisa masuk ke jurang. Dan terjadilah, baru sekejap ketika kami mencoba mundur sedikit, satu roda mobil telah keluar dari bibir jurang. Satu lagi saja putaran roda, kami pasti terperosok ke jurang yang tak bisa kami takar ketinggiannya itu.

Kami menyerah dan memutuskan menunggu di pinggir jalan tebing itu semalaman, berharap esok ada warga yang bisa membantu.

ADVERTISEMENT

Kami beruntung. Singkat cerita, malam itu kami bertemu beberapa penduduk setempat yang berhasil menyelamatkan mobil kami dan mengantar sampai tempat yang kami tuju.

Perjalanan yang menguras energi dan psikis malam itu seketika terobati di lokasi tujuan. Pagi harinya, saya saksikan sebuah keindahan alam yang memesona: lereng bukit berselimut awan, hutan-hutan hijau perawan, serta udara yang dalam sekejap mengembalikan energi yang terkuras.

Tempat itu adalah Kasepuhan Ciptagelar, sebuah desa adat yang berada di gunung Halimun. Secara administrasi, kasepuhan ini berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi.

Lokasinya berjarak 45 kilometer dari arah Palabuhanratu. Ketika saya ceritakan kesulitan serta bahaya saat perjalanan malam itu ke seorang pemuka adat desa tersebut, tak tampak kekhawatiran atau raut terkejut di wajahya. Dia justru terkekeh.

"Kesulitan seperti itu biasa dialami orang yang kemari, Mas", ujarnya.

Saya pun bertanya kenapa pihak Kasepuhan tidak meminta bantuan pemerintah atau korporasi untuk menghaluskan akses jalan mengingat kasepuhan tersebut juga banyak didatangi orang.

Jalanan yang halus dan baik tentu memudahkan orang datang. Saya mendapat jawaban mengejutkan.

Dia berkata bahwa mereka sengaja membiarkan akses ke Kasepuhan tetap seperti itu sebagai filter orang-orang yang datang.

Jadi, mereka yang datang Kasepuhan adalah orang-orang yang memang sungguh-sungguh. Saya sungguh takjub. Di tengah banyaknya desa wisata yang berlomba-lomba merias diri dengan berbagai pembangunan, infrastruktur, serta kemudahan yang memanjakan para wisatawan demi meraup rupiah, desa ini tetap ingin menjaga kemurniannya.

Saya pun menduga, akses jalan sengaja dibiarkan tetap parah dengan tujuan agar tidak banyak orang yang datang sebab jika itu terjadi akan banyak pembangunan yang sangat pariwisata, seperti villa, kafe dan tempat rekreasi.

Pembangunan demi pembangunan seperti itu jelas akan merusak alam dan keaslian di wilayah tersebut. Tapi meski dengan akses yang tak bisa dijangkau dengan mudah itu, masyarakat Ciptagelar tidak pernah mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Hal ini dikarenakan mereka memegang prinsip leluhur agar pemenuhan kebutuhan hidup harus bersumber dari usaha pertanian mereka sendiri. Seluruh sumber pangan mereka berasal dari pertanian dan peternakan di desa itu.

Bahkan, mereka bisa menyimpan padi dan tetap awet hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Singkat kata, meski dunia mengalami krisis pangan, sumber pangan di kasepuhan ini akan selalu berlimpah.

Satu hal yang menarik lagi adalah bahwa desa tersebut baru beberapa bulan sebelumnya pindah. Artinya, lokasi desa di mana saya berada itu baru.

Lokasi sebelumnya berjarak beberapa kilometer di bawah area sekarang. Diceritakan bahwa seluruh penduduk desa serentak melakukan perpindahan ke desa baru dengan membawa segala barang-barangnya naik turun bukit pada tengah malam dan saat hujan sedang deras-derasnya.

Kabarnya, peristiwa perpindahan saat itu sangat dramatis dan epik. Saya bertanya kenapa harus pindah pada waktu yang tidak lazim. Alangkah lebih mudah dan nyaman jika perpindahannya di waktu pagi atau siang dan cuaca sedang terang.

Tapi rupanya perpindahan desa tidak dilakukan dengan kalkulasi umum seperti itu. Kapan waktu untuk pindah adalah titah dari sang kepala adat kasepuhan.

Mereka pun meyakini, titah tersebut pun merupakan wangsit dari para leluhur. Tradisi perpindahan ini disebut ngalalakon. Ngalalakon kali ini bukan yang pertama.

Dalam sejarah kasepuhan, mereka telah melakukan berpindah 20 kali sejak awal berdiri tahun 1368. Perpindahan terakhir terjadi pada tahun 2001.

Usia perpindahan pun tak tentu, pernah 35 tahun kemudian pindah, pernah setelah 170 tahun baru pindah, 65 tahun, bahkan pernah baru 4 tahun sudah pindah.

Nama-nama Ciptagelar

Setiap perpindahan pasti diikuti dengan perubahan nama kasepuhan. Nama kasepuhan sejak tahun 1368 adalah Cipatat Urug (1368-1556), Pasir Gombong (1556-1729), Ciear, Cimanaul, Bongkok, Cibeber, Pasir Talaga, Lebak Larang, Lebak Binong (1729-1797), Pasir Talaga (1797-1832), Tegal Lumbu (1832-1895), Cicadas, Bojongcisono (1895-1937), Cicemet, Sirnaresmi (1937-1972), Sirnarasa (1972-1980), Linggarjati (1980-1984), Ciptarasa (1984-2000), Ciptagelar (2001-2022), Gelar Alam (2022- sekarang).

Setelah perpindahan kali ini, nama desa mereka pun bukan Ciptagelar lagi. Menurut amanah sang kepala adat, perubahan nama menunggu tiga tahun lagi.

Kemungkinan nama yang digunakan adalah Gelar Alam. Tidak dijelaskan dengan pasti alasan setiap perpindahan. Semua adalah titah leluhur dan Kepala Adat.

Tapi, mereka yakin bahwa setiap perpindahan sesuai dengan momentum dan periode zamannya (babad). Biasanya, babad ditandai dengan terjadinya perubahan yang besar pada zaman tersebut.

Tampaknya, peristiwa besar pandemi Covid yang menghantam seluruh dunia adalah salah satu penanda kuat bahwa kasepuhan memang harus pindah.

Hide Ads