Desa Tenganan Pegringsingan memiliki tradisi perang pandan atau mekare-kare. Itu dianggap sebagai kepatuhan kepada dewa perang.
Mekare-kare atau yang dikenal dengan perang pandan adalah salah satu tradisi rutin yang digelar oleh masyarakat Desa Tenganan. Tak hanya disaksikan oleh masyarakat lokal, tradisi perang pandan juga menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Tamping Takon Tebenan Desa Tenganan I Putu Suarjana menyebut tradisi perang pandan merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, yang merupakan dewa perang.
"Kalau perang pandan sesuai konsep agama kami, Agama Hindu Dharma sekte Indra adalah bentuk penghormatan pada Dewa Indra. Di sini kami dianggap sebagai prajurit di Desa Tenganan. Contoh, pemukiman kami berkonsep benteng, jadi harus waspada dengan musuh dari luar. Sebaliknya musuh tidak hanya dari luar, tetapi dari dalam. Sehingga muncullah tradisi perang pandan," kata I Putu Suarjana kepada detikTravel.
Baca juga: Desa Tenganan Pegringsingan Anti Poligami |
![]() |
Tradisi mekare-kare dilakukan setiap bulan Juni dan berlangsung selama 30 hari penuh sebagai bagian puncak dari prosesi rangkaian upacara Ngusaba Sambah. Mekare-kare dilakukan kurang lebih selama 3 jam dan dalam satu bulan tersebut, mekare-kare berlangsung sebanyak 2-4 kali.
Mekare-kare memiliki makna yang sama dengan upacara tabuh rah yang kerap dilakukan umat Hindu di Bali untuk menghormati roh halus.
Sebelum perang pandan digelar, remaja putra dan putri pergi ke puncak gunung di DesaTenganan untuk menghaturkan kelapa muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ngastiti ini dilakukan untuk memohon kesuksesan acara ini. Jadi remaja putra dan putri ke puncak gunung karena di sana terdapat tempat suci potongan kuda Oncesrawa," ujar I Putu Suarjana.
Setelah ngastiti, remaja putra ditugaskan untuk mencari daun pandan berduri yang nantinya akan digunakan sebagai senjata dalam perang pandan. Daun pandan yang digunakan harus dipotong sepanjang sekitar 30 cm. Nantinya, remaja putra yang berperang juga dibekali dengan tameng untuk bertahan.
"Kenapa perang pandan yang bertanggung jawab adalah remaja putra. Pertama, remaja putra akan merubah watak atau sifat dari anak-anak menjadi remaja. Kedua, remaja putra sudah bisa membedakan mana musuh dan mana teman. Ketiga, remaja putra sudah mempersiapkan diri untuk berkeluarga," kata I Putu Suarjana.
Perang pandan akan berlangsung selama sekitar 5 sampai 7 menit dan dihentikan ketika salah satu peserta menyatakan menyerah atau ada yang mengalami luka akibat duri pandan. Tradisi mekare-kare selalu diiringi dengan tetabuhan khas Desa Tenganan, yaitu gamelan selonding.
Remaja putri bertugas membuat ramuan tradisional atau boreh yang nantikan digunakan untuk mengobati luka akibat sayatan duri pandan. Boreh dibuat dengan bahan-bahan alami seperti kunyit, lengkuas, bangle, dan cuka yang dicampur menjadi satu.
Menurut I Putu Suarjana, wisatawan diperbolehkan untuk mengikuti tradisi perang pandan namun akan diutamakan terlebih dahulu untuk masyarakat lokal Desa Tenganan.
"Kalau dulu yang ikut itu masyarakat kita saja. Tapi setelah dikenal, ada orang luar yang ingin mencoba. Semasih ada waktu kita ajak, kalau tidak ya tidak kita ajak. Setelah masyarakat kami semua dapat, baru kita ajak orang luar," kata I Putu Suarjana.
Tradisi yang unik ini tak hanya menggembirakan bagi masyarakat lokal, namun menjadi daya tarik bagi wisatawan. Wisatawan akan berbondong-bondong untuk menyaksikan tradisi perang pandan ini.
Bagi traveler yang ingin menyaksikan atau mencoba tradisi perang pandan, direkomendasikan untuk datang ke Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali pada Juni.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!