Lebanon dikenal sebagai negara yang mengakui banyak agama. Sayangnya, keputusan mulia itu dinilai banyak kalangan malah membuat Lebanon susah mengatasi konflik dan krisis.
Lebanon merupakan negara kecil di Asia Barat yang luasnya hanya 10.452 kilometer persegi. Luas negara ini sama seperti luas beberapa kabupaten di Indonesia, seperti Kabupaten Morowali Utara di Sulawesi Tengah atau Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah.
Di negara kecil itu, hidup sekitar 6 juta penduduk yang mayoritas menganut agama Kristen dan Islam. Akan tetapi selain kedua agama tadi, ada 18 sekte agama yang juga diakui Lebanon yang terbagi menjadi 4 Muslim, 12 Kristen, Druze, dan Yudaisme.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menjaga stabilitas di negara tersebut, negara yang merdeka pada 22 November 1943 dari Prancis itu membagi kekuasaan berdasarkan sekte-sekte tadi. Meskipun negara itu memiliki sistem pemerintahan parlementer, pada praktiknya sistem yang dijalankan lebih mengarah pada konvensionalisme.
![]() |
Konvensionalisme ini membagi kekuasaan pemerintahan pada kelompok-kelompok agama yang ada di Lebanon. Pembagian itu meliputi presiden yang harus dijabat seorang Katolik Maronit, perdana menteri dijabat seorang Muslim Suni, wakil perdana menteri dari Kristen Ortodoks, ketua parlemen seorang Syiah, dan wakil ketua parlemen dari Kristen Ortodoks.
Tak hanya di pemerintahan, di parlemen pun, pembagian tetap dilakukan. Lebanon memiliki 128 kursi parlemen yang rasio pembagiannya mewakili kelompok Islam dan Kristen.
Seperti telah disinggung di bagian atas, tujuan dibentuknya sistem konvensionalisme ini adalah untuk mencegah konflik sektarian. Selain itu dimaksudkan untuk memberikan keadilan secara demografis bagi 18 sekte agama di Lebanon.
Sayangnya, cita-cita mulia itu tak bertahan lama karena terjadi oligarki politik dan monopoli ekonomi dari setiap kelompok. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya kepentingan masing-masing kelompok yang juga berafiliasi dengan kekuatan asing, seperti Israel, Palestina, Amerika Serikat, Arab Saudi, Iran, dan Prancis.
Selanjutnya: perang saudara yang menghancurkan Lebanon
Jauh sebelum dikenal sebagai negara konflik, Lebanon adalah oasis di Timur Tengah. Pada periode 1950-1960-an Lebanon dikenal memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Mereka mengerahkan sektor pariwisata, pertanian, perdagangan, dan perbankan untuk membangun negaranya yang baru merdeka.
Karena kemajuannya, Lebanon sempat dijuluki sebagai Swiss dari Timur. Akan tetapi semua berubah ketika Perang Saudara meletus.
Meletusnya Perang Saudara ini didahului dengan peristiwa eksodus yang dilakukan masyarakat Palestina karena adanya konflik Israel-Palestina. Pada tahun 1970, Palestine Liberation Organization (PLO) dan pemimpinnya yakni Yasser Arafat memindahkan basisnya ke Lebanon.
Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri, pada April 1975 terjadi bentrok antara warga Lebanon dengan kelompok PLO di Ain ar-Rummanah, Beirut. Hal ini kemudian memicu perang ke seluruh wilayah Lebanon.
![]() |
Perang itu makin panas karena pemimpin Lebanon mulai bekerja sama dengan negara asing. Misalnya orang-orang Kristen Maronit yang dipimpin Partai Phalangis bersekutu dengan Suriah dan Israel untuk memerangi PLO. Sedangkan fraksi yang lain bersekutu dengan Suriah, Iran, dan negara lainnya.
Pertempuran itu sempat terhenti pada 1976 karena ada mediasi dari Liga Arab dan intervensi Suriah. Mereka menjalankan hak veto pada politik Lebanon.
Keputusan dari mediasi itu adalah pembentukan negara Israel lalu diizinkannya 100 ribu pengungsi Palestina pindah ke Lebanon. Hal ini membuat demografi di Lebanon berubah dan menjadi awal mula konflik regional berkepanjangan di sana.
Malangnya, meski sempat terhenti, konflik kembali terjadi di Lebanon. Pertikaian Palestina dengan Lebanon berlanjut di Lebanon selatan yang telah diduduki PLO sejak 1969. Hal ini bertentangan dengan kesepakatan Kairo yang juga ditandatangani Pemerintah Lebanon.
Perang ini menelan ribuan korban jiwa karena terjadi sejumlah pembantaian. Mulai dari Pembantaian Karantina pada Januari 1976 oleh pihak Phalangis pada pengungsi Palestina. Lalu pembantaian Damour pada 1976 oleh PLO terhadap orang Maronit, dan pembantaian Tel el-Zaatar pada Agustus 1976 oleh Phalangis pada pengungsi Palestina.
Kemudian pada 1978, Israel kembali memberikan dukungan bagi tentara Kristen Monorit di Lebanon Selatan. Mereka melatih, mempersenjatai, memasok senjata, dan menyediakan seragam bagi para tentara.
![]() |
Penyerbuan Israel ke Lebanon pada 1978 dan 1982 menyebabkan setidaknya 20.000 orang tewas. Selama masa perang saudara sendiri, jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 150.000 orang yang merupakan warga sipil Lebanon dan Palestina.
Konflik baru mereda setelah pada 1989 seluruh wakil kekuatan politik, partai, dan sekte keagamaan sepakat mengadakan rekonsiliasi nasional dengan nama Taif Agreement. Kesepakatan ini disponsori Arab Saudi dan Suriah.
Namun masalah-masalah di Lebanon tak hilang begitu saja. Belakangan ini, negara itu terseok-seok secara ekonomi. Dilansir dari BBC, banyak bisnis di negara itu terpaksa memberhentikan karyawan.
Harga bahan pokok juga melonjak, apalagi sejak COVID-19 merebak, harga barang semakin tak terjangkau masyarakat. Hal ini menyebabkan Lebanon mengalami krisis pangan besar. Masyarakat Lebanon pun melayangkan protes pada pemerintah atas kondisi ini.
Baca juga: Ini Penyebab Krisis Lebanon yang Bikin Miris |
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!