Melansir CNN, Minggu (26/5/2019), pendaki asal India, Anjali Kulkarni (55), meninggal dalam pendakian kembali ke puncak Gunung Everest Rabu lalu. Kata putranya, Shantanu Kulkarni, dia terjebak di 'kemacetan' yang terjadi di atas kamp empat di ketinggian 8.000 mdpl.
Itu adalah kamp terakhir sebelum puncak. Pendaki lainnya asal Amerika, Donald Lynn Cash (55), juga meninggal setelah pingsan karena penyakit ketinggian saat turun dari puncak. Itu dikatakan oleh perusahaan ekspedisi Nepal Pioneer Adventure Pvt. Ltd.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan bahwa ada sekitar 320 orang dalam antrian ke puncak. Padahal daerah ini dikenal sebagai zona kematian. Puncak Gunung Everest memiliki ketinggian 8.848 meter, pada tingkat itu, setiap hirupan napas hanya mengandung sepertiga oksigen.
Tubuh manusia juga cepat memburuk pada ketinggian itu. Artinya, kebanyakan orang hanya dapat menghabiskan beberapa menit di atas sana, jika tanpa pasokan oksigen tambahan dan ini jadi faktor utama kematian.
Menurut Shantanu Kulkarni, ibunya telah mendaki selama lebih dari 25 tahun dan telah dilatih untuk mendaki Gunung Everest selama enam tahun terakhir. Dia telah menyelesaikan sejumlah pendakian, termasuk mendaki Gunung Elbrus di Rusia dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Anjali Kulkarni memiliki agen periklanan bersama suaminya. "Tetapi mereka berdua pensiun untuk mengejar impiannya, yakni berdiri di puncak Gunung Everest," kata Shantanu.
BACA JUGA: Parah! Gunung Everest Jadi Tempat Sampah Tertinggi Sedunia
Cash, seorang kakek dari Utah, pingsan di dekat zona kematian di jalan setapak yang memiliki ketinggian sekitar 8.770 meter, menurut Pioneer Adventure. "Tim kami melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan hidupnya," catat perusahaan itu, seraya menambahkan bahwa Sherpa (pemandu Gunung Everest) bahkan menariknya untuk turun gunung.
"Upaya terbaik telah dilakukan, pasokan oksigen yang cukup dan dukungan medis, tapi mereka tidak dapat menyelamatkan hidupnya," katanya.
Lebih dari 200 pendaki Gunung Everest tewas di puncaknya sejak 1922 sejak kematian pertama dicatat. Mayoritas mayat diyakini masih terkubur di bawah gletser atau salju.
(msl/aff)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum