Nama Pulau Biak jadi viral karena video kemunculan paus pembunuh di sana. Sebelumnya, di daerah lain di Indonesia yakni Anambas pernah kedatangan orca juga lho.
Fenomena di Anambas terjadi pada bulan April 2020. Kali ini kemunculan orca di Papua membuat netizen bertanya-tanya. Apakah ini orca yang sama dengan yang pernah muncul di Anambas.
Hal ini dikaitkan karena jumlah orca yang terekam kamera. Di Anambas yang muncul berjumlah 4 ekor, begitu pula yang terekam di Biak.
Sebenarnya yang muncul di Biak tidaklah berjumlah 4. Menurut pengakuan penyelam, Suseno, ada sekumpulan yang lewat namun tidak terekam.
"Belum tentu yang di Biak itu yang pernah muncul di Anambas," ujar Peneliti Madya Bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Dr Widodo Pranowo.
Widodo mengatakan bahwa untuk bisa mengetahui jalur orca ini adalah dengan dipasangnya GPS archieval tagging. Sehingga pergerakan orca atau paus pembunuh dan posisi-posisinya dapay dipantau melalui satelit.
"Nah, itu kalau pakai archieval tagging mungkin bisa dijawab dengan pasti. Kalo sekarang ini ya nggak bisa dijawab iya atau tidaknya," katanya.
![]() |
Indonesia sendiri pernah memasangkan GPS archieval tagging pada biota laut seperti hiu dan tuna. Alasannya karena biaya GPS archieval tagging termasuk mahal.
"Alatnya mahal, biaya sewa satelitnya juga mahal, belum lagi sewa kapal dan beli BBM buat buat mencari dan menangkap Orca hidup-hidup, pasti mahal juga," jelas Widodo
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, pihak manakah yang bertanggung jawab dalam pemasangan GPS archieval tagging?
"Jadi sepertinya harus dilihat terlebih dahulu orca ini apakah hewan dilindungi dan masuk ke daftar CITES ataukah tidak. Sehingga kemudian siapakah yang menjadi Focal Point dari CITES, apakah itu di KLHK ataukah di KKP," ungkapnya.
Widodo menambahkan, saat ini KKP memiliki Direktorat Kekayaan dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL).
"Apabila menilik secara lebih jauh lagi, informasi ruaya atau migrasi mamalia laut sangat penting pula bagi pelayaran kapal selam militer, sehingga informasi jalur migrasi hingga kedalaman renang mereka diperhitungkan di dalam Peta Elektronik untuk Navigasi Kapal Selam (Electronic Chart Display Information System) khususnya ditempatkan sebagai informasi khusus yakni di dalam Additional Military Layer (AML)," sambungnya.
Ternyata, ukuran tubuh mamalia laut seperti paus pembunuh bisa tampak seukuran kapal selam ketika ditangkap oleh sensor sonar kapal selam. Begitu pula dengan suara yang dikeluarkan oleh mamalia laut, termasuk juga orca.
"Secara fungsional kegunaan Archieval tagging selain untuk bisa melihat jalur migrasi Orca secara horisontal, maka secara lebih jauh dapat untuk menelaah pola berenangnya secara vertikal siang dan malam," ujar Widodo.
Paus pembunuh tak hanya bermigrasi, mereka juga suka untuk tinggal beberapa lama di wilayah laut tertentu. Adanya GPS archieval tagging akan membantu peneliti untuk mengamati alasan mereka tinggal di sana.
"Dari situ maka bisa dikaji juga model keseimbangan jaring makanan pada suatu ekosistem laut tertentu. Hasil analisis-analisis tersebut kemudian bisa digunakan untuk penyusunan konsep kebijakan pemerintah apakah suatu wilayah laut perlu dijadikan wilayah konservasi laut ataukah tidak," pungkasnya.
(bnl/ddn)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol