Agustinus Wibowo traveling selama dua bulan di Suriname untuk mencari nasionalisme diaspora. Sejumlah hal lain membuat dia terkesan, termasuk fakta Suriname yang kosmopolitan.
Selain melakukan riset tentang kiblat Islam madep ngulon (menghadapi barat) dan Islam madep ngetan (menghadap timur), selama di Suriname Agus, sapaan karib Agustinus, amat terkesan dengan keragaman di Suriname. Negara itu terdiri dari berbagai suku yang berasal dari berbagai sudut dunia.
Agus terbang ke Suriname setelah melakukan riset di Belanda selama dua bulan lebih dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai di Suriname memang menarik sekali. Suriname itu menarik budaya dan sejarahnya. Negaranya kecil, penduduk cuma di daerah pesisir, 90 persen negaranya ksoong, aku sama sekali nggak pernah penyentuh yang 90 persen itu," kata Agus dalam perbincangan dengan detikTravel.
"Suriname merupakan negara dengan penduduk 500 ribu, bisa disebut sebagai negara yang kosmopolitan karena penduduknya dari seluruh dunia yang bisa jadi satu. Amerika, India mayoritas, Hindustan, Amerika Indian. Empat etnik ini dari berbagai ujung dunia yang berbeda dan bisa kumpul," dia menjelaskan.
Suku Jawa yang ada di Suriname merupakan orang-orang Jawa yang diangkut dari Batavia (Jakarta) ke Suriname, dengan angkatan pertama pada 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Sebanyak 94 orang Jawa yang merupakan kuli kontrak dipindah ke Suriname, yang waktu itu merupakan negara jajahan Belanda.
Agus juga tertarik dengan bentang alam Suriname yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. begitu pula dengan suhu udara, kelembaban, dan nyamuk yang cukup banyak.
Di Suriname, Agus juga bisa menemui sawah, rumah-rumah yang berukuran kecil seperti di desa-desa di Indonesia.
"Saat naik mobil di sana, kalau orang Jawa yang nyetir, ya muternya radio Garuda yang siarannya karawitan. Saya sampai berpikir ini sudah terbang delapan jam dari Belanda seolah-olah sampainya di Jawa lagi hahahah," Agus menjelaskan kemudian tertawa.
Poin yang paling membuat Agus amat terkesan saat tiba di Suriname adalah dia justru melihat tradisi Jawa yang digenggam erat dan dipertahankan di sana.
"Di Suriname membuat saya bisa melihat banyak pernak-pernik tradisi Jawa yang mulai hilang. Penggunaan bahasa Jawa yang biasa saja dengan pejabat negara sekalipun, juga dalam acara resmi. Kalau di sini, kita yang ngomong bahasa Jawa medok, akan diolok-olok. Di sini saya menemukan kebanggaan ngomong bahasa Jawa," ujar pria asal Lumajang, Jawa Timur itu.
Bahasa Jawa yang digunakan di Suriname, lanjut Agus, merupakan bahasa Jawa ngoko. Bahasa itu berkembang karena orang-orang Jawa yang diboyong ke Suriname merupakan kuli kontrak, bukan priyayi.
"Ngomong sama menteri juga bahasa ngoko. Ngomong politik pakai bahasa Jawa. Itulah Jawa yang enggak ada di sini. Di sana lebih egaliter," ujar dia.
Bahkan, sebagian orang Jawa di Suriname menghidupkan kejawannya lewat agama Javanisme. Agama ini merupakan sempalan dari Islam madep ngulon (menghadap barat) yang mempunyai misi membersihkan agama mereka dari unsur-unsur Islam yang mulai muncul tahun 2000.
Jawanisme mendapatkan pengakuan secara resmi menjadi salah satu agama di Suriname. Pemuka agama dapat gaji dari pemerintah. Bahkan, mereka mempunyai hak untuk dapat hari libur nasional, namun tinggal menunggu pengesahan.
(fem/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan