Mengenal Jalan Margonda, Lokasi Giant Margo City yang Tutup Permanen

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mengenal Jalan Margonda, Lokasi Giant Margo City yang Tutup Permanen

Tim detikcom - detikTravel
Rabu, 03 Feb 2021 14:16 WIB
Insert foto Margonda
Foto: Dok detikcom
Depok -

Giant Margo City ramai dibicarakan karena akan ditutup secara permanen. Ritel belanja ini terletak di mall Margo City di Jalan Margonda Raya, Depok.

Jalan Margonda Raya diambil namanya dari seorang tokoh pahlawan kemerdekaan asal Bogor, Margonda. Hampir semua warga Depok pasti pernah melewati jalan tersebut, dan ternyata ada cerita menarik di balik nama Jalan Margonda Raya itu. Margonda lahir tahun 1918 di Baros, Cimahi, Bandung. Dia dan keluarganya tinggal di Jalan Ardio, Bogor.

Margonda muda dengan jiwa yang menggelora begitu bersemangat mengusir para penjajah. Dia mengorganisir para pemuda lokal Bogor dan Depok untuk mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang merupakan cikal bakal TNI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, wilayah Depok yang dahulu menjadi satu dengan Bogor, belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Rakyat terus berjuang agar para penjajah angkat kaki dari negeri ini.

Seperti yang terjadi di Depok, Jawa Barat, di sana ada peristiwa penting yang dikenal dengan nama "Gedoran Depok".

ADVERTISEMENT

Gedoran Depok merupakan sebuah titik penting dalam sejarah perjuangan warga Depok, yang di dalamnya juga terdapat kisah heroik tentang para pejuang yang tenar hingga saat ini, salah satunya Margonda.

Wilayah Depok yang pada awalnya merupakan sebuah tanah partikelir milik Cornelis Chastelein diserahkan pada 12 orang budak bawaan Cornelis Chastelein.

Pejuang Margonda yang namanya diabadikan jadi nama jalan utama di DepokPejuang Margonda yang namanya diabadikan jadi nama jalan utama di Depok Foto: Andhika Akbarayansyah/detikcom

Mereka kemudian mengurus wilayah Depok dan memiliki gaya hidup layaknya orang Eropa dengan menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan Belanda-Depok.

Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Belanda-Depok dianggap oleh masyarakat pribumi dan laskar-laskar rakyat sebagai kelompok yang tidak pro-republik dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga bermuara pada peristiwa yang dikenal dengan "Gedoran Depok" pada tanggal 11 Oktober tahun 1945.

Huru-hara yang meletus pada tanggal 11 Oktober 1945 itu ditandai dengan kejadian-kejadian beruntun, dimulai dengan pemboikotan pasar pada tanggal 7 Oktober 1945.

"Pada tanggal 7 Oktober, keadaan di Depok mulai memasuki masa kritis, ketika terjadi sebuah pemboikotan terhadap pasar di wilayah Depok yang biasanya menjadi pusat kegiatan jual-beli," seperti diterjemahkan dari Arsip Algemeen Secretarie Serie Grote Bundel 1942-1945 No.153, diakses dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Menurut dokumen tersebut, peran Margonda begitu sentral saat itu. Ketika malam hari sebelum peristiwa Gedoran Depok, Margonda sempat menjadi penengah antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan kaum Belanda-Depok.

Ia kemudian berhadapan langsung dengan salah satu pimpinan TKR, Urip Sumihardjo. Akan tetapi, komunikasi tersebut mentok. TKR tetap menilai orang Belanda-Depok itu layaknya Belanda atau penjajah lainnya yang tidak menginginkan kemerdekaan Indonesia secara penuh.

Penyerangan terhadap orang Belanda-Depok oleh TKR ini kemudian berlanjut. Saat itu, TKR berhasil mengusir NICA untuk sementara.

Margonda menilai peristiwa Gedoran Depok membuat para pejuang dan rakyat tercerai berai. Padahal seharusnya bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Di tengah cerai berainya pasukan Indonesia, NICA kembali menyerbu dan menguasai Depok. Pasukan NICA yang datang membonceng Sekutu menyerbu Depok untuk 'membebaskan' orang Belanda-Depok yang ditawan oleh TKR.

Para pejuang berhasil dipukul mundur dengan kekuatan NICA yang jauh lebih besar dan memadai dari segi persenjataan.

Tawanan wanita dan anak-anak Belanda Depok dibebaskan, dibawa ke kamp pengungsian di Kedunghalang, Bogor. Semenjak itu, kantor Gemeent Bestuur yang tadinya dijadikan markas TKR berubah menjadi markas NICA.

Memasuki bulan November, para pribumi yang tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan.

Mereka berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Para pejuang bersepakat menyerbu Depok tanggal 16 November 1945.

Serangan ini menjadi serangan terbesar yang dilakukan oleh masyarakat Depok.

Margonda menjadi salah satu pemimpin penyerangan ini dan hendak melemparkan granat ke arah musuh. Perjuangan Margonda harus berakhir saat peluru musuh menembus dadanya dalam perang yang berlangsung di Depok pada 16 November 1945.

Margonda yang kala itu akan melemparkan granat ke musuh seketika tumbang dan mengembuskan napas terakhirnya.

Margonda tertembak timah panas penjajah di pinggir Kalibata, Pancoran Mas. Dia gugur di medan pertempuran di usia yang masih muda yakni 27 tahun.

Jasa Margonda terus dikenang dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di Depok. Penamaan jalan Margonda itu dilakukan pada tahun 1970-an.




(ddn/ddn)

Hide Ads