Yogyakarta menjadi salah satu kota tujuan destinasi wisata favorit para wisatawan. Ada begitu banyak obyek wisata di sana, mulai dari wisata alam hingga sejarah. Salah satunya, yaitu Keraton Yogyakarta.
Keraton yang bernama lengkap Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini terletak di pusat kota. Selain menjadi tempat tinggal sultan dalam menjalankan kegiatan tradisi kesultanan, Keraton Yogyakarta juga dibuka untuk wisatawan.
Pada saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta ada hal yang perlu diperhatikan, di antaranya pakaian. Ada beberapa motif batik yang tidak boleh dikenakan bilamana akan berkunjung ke sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah seorang perajin batik asal Imogiri, Maratri Kontestiani (43) menjelaskan, pengunjung Keraton dilarang memakai motif batik parang dan kawung. Menurutnya, kedua motif batik ini dianggap keramat dan hanya boleh dipakai oleh keluarga kerajaan.
"Batik parang sama kawung. Itu untuk raja. Jadi misalnya mau pakai parang di luar itu nggak apa-apa. Tapi kalau pakai parang masuk ke keraton itu nggak boleh. Itu pantangan, soalnya itu untuk raja," ujarnya kepada detikcom baru-baru ini.
Parang merupakan salah satu motif batik tertua di Indonesia. Konon, motif parang sudah ada sejak zaman Keraton Mataram Kartasura. Awalnya, motif parang diciptakan oleh Panembahan Senapati yang terinspirasi oleh gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang.
Motif miring berbentuk diagonalnya menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, dan kewibawaan, sehingga hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya saja.
![]() |
Sementara motif batik kawung berpola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Dalam filosofi Jawa, motif ini mencerminkan adanya satu titik yang menjadi pusat kekuatan dan kekuasaan.
Kawung juga melambangkan kesederhanaan seorang raja yang senantiasa mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, motif ini dikhususkan bagi keluarga bangsawan dan para pejabat keraton.
Kontes tidak mengatakan secara pasti sejak kapan motif batik parang dan kawung dilarang penggunaannya oleh wisatawan yang akan berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Namun, dirinya menyebut jika aturan ini sudah ada sejak lama dan dijaga turun-temurun.
"Itu dikenakan raja. Sudah dari dulu, sudah turun temurun. Jadi itu melambangkan raja," paparnya.
Tidak hanya saat berwisata ke Keraton, diungkapkan Kontes motif Parang dan Kawung juga dilarang pemakaiannya oleh pengunjung yang datang ke Kompleks Makam Raja Mataram di Imogiri.
"Kalau ke makan (raja) juga nggak boleh," paparnya.
"Itu kan memang larangan, jadi udah pada nggak pakai kalau masuk ke makam. Karena memang udah larangan," lanjutnya.
Di sisi lain, Kontes menjelaskan kemampuan membatiknya ia dapat secara otodidak. Bahkan sejak masih TK, ia sudah sering membantu si mbah dalam membuat batik. Kemudian di tahun 2003, Kontes bersama kedua saudaranya melanjutkan usaha kerajinan batik tulis yang telah dirintis sejak zaman nenek moyangnya.
"Otodidak. Kan dulu si mbah batik, terus kita suka ikut-ikut batik. Otomatis bisa, nggak belajar. Masih TK sudah sering bantuin batik," jelasnya.
"Awal mula usaha dari si mbah dulu, dari zaman si mbah. Terus sekarang ibu sudah memasrahkan ke anak-anaknya. Mulai 2003," imbuhnya.
Diakuinya, dalam sebulan ia bisa menerima pesanan hingga 20 sampai 30 buah kain batik. Batik tersebut dikirim ke luar kota seperti Bali dan Jakarta. Namun, kebanyakan pembeli langsung datang ke galeri.
Adapun kain batik yang diproduksi bermotif klasik, seperti wahyu tumurun, sidoasih, slobok, dan parang kencana. Dari semuanya, Kontes mengatakan motif wahyu tumurun menjadi yang paling laris.
Sayangnya, pandemi Corona membuat usaha batik kain milik Kontes sepi. Ia mengatakan, sudah hampir setahun dirinya tidak mendapatkan pemasukan.
"Pesanan paling banyak 20-an ada, 20-30 an. Cuma itu dulu sebelum ada Corona. Kalau sekarang belum ada. (Pas) Corona ini sepi sekali, hampir nggak ada pemasukan setahun ini," tuturnya.
Oleh karena itu, beberapa waktu lalu ia mengajukan pinjaman modal dari BRI. Pinjaman tersebut ia gunakan untuk mendukung produksi, utamanya proses pewarnaan batik.
"KUR mengajukan, buat proses pewarnaan aja. Baru kemarin mengajukan (pinjaman KUR). (Senilai) Rp 20 juta. Untuk proses pewarnaan batik," pungkasnya.
detikcom bersama BRI mengadakan program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia yang mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di sini.
(ncm/ncm)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!