Singapura memiliki destinasi wisata 18+ legal bernama Geylang. Red Light versi Singapura ini sarat akan wisata seks namun punya sisi lain yang memilukan.
Mungkin banyak dari traveler yang masih asing dengan nama Geylang. Tentu, destinasi ini tak sepopuler objek wisata Singapura lainnya seperti Marina Bay atau Orchard Road.
Geylang merupakan satu-satunya distrik 18+ resmi di Singapura. Di sana terdapat kios-kios yang menjajakan berbagai obat stimulan, mulai dari viagra hingga pil kuat yang terbuat dari penis harimau hingga sisik trenggiling.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Obat-obatan ini diklaim dapat membantu membakar semangat bercinta para sejoli. Kabar baiknya, karena tempat ini legal, pembelian obat tersebut juga wajib menggunakan resep dokter.
Selain kios obat kuat, di sana juga terdapat rumah bordil yang legal. Di lokasi seluas 10 kilometer persegi itu berdiri kurang lebih 100 rumah bordil yang siap melayani para tamu.
Geylang, SingapuraGeylang, Singapura.
![]() |
Uniknya, Geylang ini tak hanya didatangi para pencari kenikmatan duniawi. Wisatawan yang cuma ingin tahu dan ingin belajar mengenai Geylang juga dapat mengikuti tur bersama pemandu.
Dilansir dari CNN, salah seorang pemandu yang aktif menceritakan sisi lain Geylang adalah Yinzhou. Sembari mengajak wisatawan mengelilingi Geylang, ia akan menjelaskan faktor sosial, politik, dan ekonomi yang pada akhirnya membentuk Geylang.
Di sana banyak pekerja migran yang menyebut Geylang sebagai rumah. Geylang menjadi tempat mereka mencari nafkah, tentunya dengan melakukan transaksi seks.
Dalam tur wisata di Geylang, Yinzhou juga akan menyinggung soal asuransi kesehatan dan kerusuhan Little India. Wisatawan juga akan diajak mampir ke toko kelontong, klinik medis, pasar hasil curian, LSM, kuil, toko mainan seks hingga toko yang menjual bir murah.
Yinzhou mengatakan, di Geylang, para wisatawan dapat melihat bagaimana tempat prostitusi dan tempat ibadah berdiri berdampingan. "Kami benar-benar menjalankan spektrum antara keselamatan dan dosa," kata dia.
Seperti telah disinggung sebelumnya, Geylang dianggap sebagai rumah bagi para pekerja migran. Mereka banyak yang berasal dari India, Bangladesh, China dan sejumlah negara tetangga Singapura.
Pekerja migran ini umumnya bekerja sebagai perawat tanaman atau petugas yang membersihkan sampah. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan ini dengan upah yang rendah.
Mereka kemudian memilih tinggal di Geylang karena sewa bangunan yang murah. Tempat ini kemudian menjadi lingkungan padat penduduk karena dapat ditemukan satu rumah dengan 3 kamar yang dihuni hingga 60 orang.
Masalah yang dihadapi pekerja migran ini mulai dari perawatan kesehatan yang buruk sampai upah yang terlampau rendah. Hal-hal ini disampai Yinzhou dalam tur wisata.
Yinzhou yang merupakan penduduk Geylang menjelaskan, ia membuat tur ini untuk menunjukkan sisi lain Geylang yang belum banyak orang ketahui. "Sebagai penduduk Geylang, saya ingin mencoba dan menghilangkan prasangka mengenai beberapa stereotipe Geylang," ujarnya.
"Ini juga merupakan kesempatan besar untuk mengangkat sejumlah masalah dan menyadarkan masyarakat," paparnya.
Di masa pandemi COVID-19, kondisi Geylang juga kian memprihatinkan. Rumah bordil harus ditutup untuk mencegah penyebaran COVID-19. Suasana sunyi pun menyelimuti distrik yang biasanya aktif menjajakan seks di malam hari itu.
Selain mencegah COVID-19, dibangunnya klinik-klinik medis di Geylang juga tak lain untuk memeriksa apakah para perempuan pekerja seks itu hamil atau tidak. Bila ketahuan hamil, ganjarannya adalah dideportasi.
"Negara tidak tertarik untuk menanggung biaya sosial jangka panjang dari para pekerja ini," katanya.
Sementara itu, situasi keamanan di Geylang juga diawasi ketat. Sejak kerusuhan Little India pada 2013, pemerintah memasang 400 kamera keamanan. Pemerintah menganggap daerah ini memiliki potensi kejahatan karena tingginya populasi pekerja migran di sana.
Selain berita Geylang, detikTravel juga punya sederet berita menarik yang populer dan bisa kamu baca lagi.
(sym/sym)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol