TRAVEL NEWS
Perbedaan Tradisi Malam Satu Suro di Yogya dan Solo

Yogyakarta dan Solo jadi dua kota Jawa masih kental dengan tradisi budaya malam satu Suro. Sama-sama malam satu Suro, tapi ada perbedaan dalam ritual di dua kota itu.
Semalam, Jumat (29/7) bertepatan dengan perayaan menjelang 1 Suro. Dikutip dari buku Perayaan 1 Suro di Pulau Jawa (MKS, 2010) karya Julie Indah Rini, ada sejumlah tradisi di Yogyakarta dalam menyambut Muharam atau Suro, bulan pertama dalam kalender Islam dan Jawa. Di antaranya tradisi Topo Bisu, Upacara Mubeng Beteng, Upacara Wilujengan Hageng, dan Mandi 7 Sumur.
Topo Bisu adalah ritual yang dilakukan masyarakat Yogyakarta untuk menyambut 1 Suro. Sesuai namanya, jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, Topo Bisu ialah bertapa dengan cara tidak mengeluarkan suara atau berbicara selama mengikuti upacara Mubeng Beteng.
Mubeng Beteng ini layaknya kirab di Keraton Solo. Barisan terdepannya adalah para abdi dalem yang mengenakan pakaian adat Jawa Peranakan warna biru tua tanpa membawa keris dan tidak mengenakan alas kaki.
Di sepanjang jalan, para abdi dalem itu membawa bendera Merah Putih, delapan panji, dan umbul-umbul Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Apa Arti Malam Satu Suro? |
Rute upacara Mubeng Beteng ini melewati Jalan Rotowijayan, Kauman, Agus Salim, Wahid Hasyim, lalu ke pojok Beteng Barat, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Timur, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-alun Utara.
Acara dimulai pukul pukul 00.00 WIB. Perjalanan Mubeng Beteng ini menempuh jarak sekitar 6 kilometer.
Selain di lingkungan Keraton Yogyakarta, malam 1 Suro juga dirayakan oleh sebagian masyarakat Islam Jawa di Yogyakarta. Mulai dari menyelenggarakan wayang kulit semalam suntuk hingga tradisi mandi tujuh sumur.
Pada malam 1 Suro, sejumlah mata air, sendang, dan sungai biasanya dikunjungi masyarakat untuk mandi atau bersuci di tengah malam. Menurut Julie Indah Rini, salah satu tempat favorit untuk mandi ini ialah tempuran atau pertemuan dua sungai menjadi satu.
Namun sayang, tahun ini Yogyakarta memutuskan untuk meniadakan tradisi ini. Keraton beralasan kasus positif Corona atau COVID-19 di DIY saat ini masih tak menentu.
"Karena COVID-19 di DIY tak menentu, Mubeng Beteng ditiadakan," kata Penghageng Urusan Keprajan Kawedanan Parintah Hageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Wijaya Pamungkas saat dihubungi wartawan Kamis (28/7/2022).
Sementara itu, untuk Keraton Solo, menggelar kirab pusaka malam 1 Suro dengan rute sepanjang 7 km. Kirab dimulai dari Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta kemudian menuju simpang Bank Indonesia, Jalan Mayor Kusmanto, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan Slamet Riyadi, hingga kembali ke Keraton.
Perayaan ini begitu dinanti karena dimunculkan kebo (kerbau) bule. Kerbau bule termasuk pusaka penting milik keraton.
Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.
Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Kebo Bule Kyai Slamet.
Simak Video "Kirab Budaya Yogyakarta yang Meriah dan Menarik Disaksikan"
[Gambas:Video 20detik]
(bnl/fem)