Gunung bawah laut di perairan Pacitan, Jawa Timur (Jatim) disebut-sebut menyimpan potensi bahaya. Bukan dari aktivitas vulkanik, tetapi justru nonvulkanik.
Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, menyebut gunung bawah laut itu berpotensi menjadi sesuatu yang tidak stabil dan mengakibatkan longsor di bawah laut. Yang berbahaya, jika volumenya besar maka akan mengganggu kesetimbangan kolom air laut.
"Ketidakstabilan lereng bisa sangat terjadi jika terjadi seismik gap, hal ini juga di-state di paper tersebut," kata Mirzam seperti dikutip dari situs resmi ITB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paper itu adalah jurnal berjudul 'The Java margin revisited: Evidence for subduction erosion off Java' yang terbit 2006. Di dalam jurnal tersebut, terungkap ada lima hingga 10 'tonjolan' bawah laut serupa di sekitar gunung bawah laut Pacitan tersebut.
![]() |
"Nah, jadi yang sedang hangat dibicarain itu adalah nomor 4," kata Mirzam,"Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini udah teridentifikasi sejak 2006 silam," ujar dia lagi.
Sebelumnya, Badan Informasi Geospasial (BIG) menemukan gunung bawah laut di perairan Pacitan saat sedang melakukan survei Landas Kontinen Ekstensial di perairan selatan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada koordinat 111,039 BT dan 10,661 LS.
Tingginya mencapai 2.200 meter, berada di kedalaman sekitar 6.000 meter, dengan puncak pada 3.800 meter di bawah permukaan laut.
Menurut Mirzam, gunung ini terbentuk karena efek kompleksitas zona subduksi di selatan. Zona subduksi (subduction zone) sendiri merupakan batas lempeng yang berupa tumbukan dengan salah satu menyusup ke dalam perut bumi dan lempeng lainnya terangkat ke permukaan.
Subduksi ini, kata Mirzam, sudah dimulai kurang lebih sejak 55 juta tahun lalu. Itu menghasilkan magmatisme yang muncul ke permukaan sebagai gunung api yang terbentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur.
"Secara sederhana orang akan berpikir bahwa gunung api akan selalu memanjang dari barat ke timur. Namun, distribusi gunung api tersebut tidak sepenuhnya membentuk garis lurus," katanya.
Kompleksitas zona subduksi berasal dari beberapa hal yakni laju subduksi yang mencapai 6,7-7 cm per tahun, perbedaan umur lempeng yang memasuki 3 bagian Pulau Jawa, hingga komposisi kerak lapisan terluar Pulau Jawa yang berbeda.
Selain itu, ada pula fenomena Roo Rise atau oceanic plateau (dataran tinggi di lautan) yang memiliki luas kira-kira 25 ribu km2 dengan ketebalan rata-rata 15 km.
Roo Rise tersebut lalu masuk ke Palung Jawa sekitar 1,1 atau 1,3 juta tahun lalu. Alhasil, Palung mundur ke arah utara sejauh 60 km. Dan, itu mengakibatkan tonjolan dari Jatim hingga selatan Lombok yang diinterpretasikan sebagai gunung bawah laut.
Mirzam menambahkan gunung bawah laut di Pacitan tidak seperti gunung api yang biasa dipelajari.
"Tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision, tumbukan, yang menghasilkan panas," kata dia.
Mirzam menyebut potensi gunung api bawah laut di Pacitan ini tak seperti gunung api lain yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan lempeng (slab) yang masuk masih cukup dangkal (10-15 km).
"Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalaman 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya," kata dia.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol