Jalan Jaksa menjadi saksi tumbuhnya jalinan asmara antara turis asing dengan warga lokal. Dari jalan inilah, kawin campur akhirnya terjadi juga.
Pada masa kejayaannya yakni era 80-90an, Jalan Jaksa memang jadi lokasi singgah favorit bagi turis asing. Pada 1993, Dinas Pariwisata Jakarta bahkan mencatat 57.201 wisatawan asing menetap di hotel dan hostel sepanjang Jalan Jaksa dan sekitarnya.
Asal turis asing ini beragam, mulai dari Eropa, Australia, hingga Amerika Serikat. Mereka umumnya menginap di Jalan Jaksa selama tiga hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemiilik Wisma Delima, pionir penginapan di Jalan Jaksa, Boy Lawalata, menjelaskan banyaknya bule ke Jalan Jaksa juga menjadi pangkal fenomena kawin campur di Jakarta. Menurut penuturannya, tak jarang bule yang tinggal di Jalan Jaksa akhirnya menikah dengan warga lokal.
"Banyak orang sini yang kenalan dengan bule. Akhirnya married," kata Boy.
Baca juga: Masihkah Ada Bule di Jalan Jaksa? |
Untuk jumlahnya, Boy mengatakan bukan satu atau dua pasangan saja. Namun, ia tidak tahu pasti total pasangan yang lahir dari Jalan Jaksa ini.
"Ada yang bule dari Australia, Jepang, Eropa. Menikah dengan orang Kebon Sirih, orang Betawi," kata dia.
Boy mengatakan, setelah menikah mereka akan pergi ke negara asal si bule. Dia sempat menyebut salah satu warga Jalan Jaksa yang pindah ke Australia setelah menikah dengan pria Aussie.
"Tapi hidupnya beda, kan (di luar negeri). Ada yang kerasan, ada yang nggak," ujarnya.
Memang, saking seringnya bule-bule berkeliaran di Jalan Jaksa, warga di sana sudah terbiasa dengan kehadiran mereka.
Percakapan dan interaksi pasti tak terhindarkan kala para turis tinggal di sana. Jadi, tak heran bila pada akhirnya turis-turis ini pulang ke negaranya dengan membawa gandengan baru.
Saat ini, Jalan Jaksa yang berjarak sekitar 1 km di selatan Monas dan sebelah barat stasiun kereta api Gondangdia itu bukan lagi jujugan turis asing. Warung-warung tenda dan musik ingar-bingar, serta minuman beralkohol yang lekat dengan jalan itu sudah tidak ada lagi. Malam Minggu, yang dulu ramai, sejak sore hingga pagi, kini sepi. Wisma Delima juga telah berubah menjadi kos-kosan.
Perubahan Jalan Jaksa itu menjadi polemik. Sebab, jalan jaksa dianggap sebagai satu kearifan lokal Jakarta, sebuah kota megapolitan, tetapi menawarkan adanya interaksi turis dengan warga lokal tanpa memandang etnik dan strata sosial. Suasana itu membuat wisatawan seolah berada di rumah sendiri.
Jalan Jaksa kala itu mendobrak anggapan pariwisata berbasis komunitas hanya ada di pedesaan dan tidak akan bisa dibangun di kota. Sebab, masyarakat kota heterogen, majemuk, dan individualistik. Tetapi, nyatanya warga lokal (warlok) di Jalan Jaksa membuka pintu, menyajikan keramahan dan kesederhanaan buat orang asing.
(pin/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol