Jalan Jaksa turut menjadi saksi gejolak negara-negara di dunia. Penginapan di Jalan Jaksa pernah dijadikan tempat pengungsian bagi korban perang.
Kisah itu disampaikan Boy Lawalata, pemilik Wisma Delima, yang merupakan hostel tertua di Jakarta. Boy masih ingat, setelah kerusuhan 1998, penginapan-penginapan di Jalan Jaksa banyak didatangi pengungsi yang merupakan orang asing.
"Habis kerusuhan, bule takut ke mana-mana. Kasihan banget. Sudah begitu, orang kita kan kesempatan. Mereka lagi butuh tempat tinggal, harganya dinaikkan. Kalau kita nggak sih, tetap Rp 200 ribu," kata Boy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi genting ini terus berlanjut hingga awal 2000-an. Ketika itu, terjadi perang antara Afghanistan dengan Amerika Serikat dan Amerika Serikat (AS) dengan Irak.
Baca juga: Masihkah Ada Bule di Jalan Jaksa? |
Boy mengenang saat itu penginapannya banyak didatangi orang Afghanistan yang mengungsi dari negaranya. Saking banyaknya, para pengungsi itu harus dialihkan ke penginapan lain yang mau menampung.
"Diatur oleh UNHCR (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi). Jadi bukan bayar sendiri. UNHCR yang bayar. Mereka makan, minum. Makan sehari 3 kali dan tinggal di sini," ujarnya.
Para pengungsi itu tinggal di penginapan Jalan Jaksa sekitar 3-4 tahun. Mereka menunggu negara ketiga yang mau menampung mereka.
"Banyak juga yang stres karena tidak boleh kerja. Kerjanya hanya makan, tidur. Begitu lama-lama gila juga. Ada yang mau lompat dari atas," katanya.
Begitulah pengalaman Boy ketika hostelnya menjadi tempat pengungsian. Terbaru, Boy mengatakan bahwa Jalan Jaksa juga sempat menjadi lokasi pelarian orang-orang Rusia yang enggan terlibat perang.
"Banyak pengalaman juga kita dengan orang-orang bule ini," ujar Boy.
(pin/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol