Tagar 'All Eyes on Papua' masih terus berseliweran di media sosial. Akademisi Surabaya pun bersuara sentil keberpihakan pemerintah.
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya telah melakukan unjuk rasa di depan Mahkamah Agung menolak pembabatan hutan.
Hutan yang digambarkan memiliki luas separuh Jakarta tersebut kabarnya bakal dibabat menjadi perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) dengan luas mencapai 36 hektare.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat media dan budaya Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan menyentil pemerintah agar menyikapi hal itu.
"Apa yang terjadi dengan Papua hari ini harus menjadi perhatian semua pihak, apalagi kebijakan pemerintah yang harus netral. Negara tidak boleh abai di tengah ancaman serius dampak kerusakan hutan," kata Dosen Kajian Media dan Budaya UM Surabaya ini, Kamis (6/6/24).
Menurut Radius, media sosial yang masih diramaikan 'All Eyes on Papua' diharapkan bisa mendorong perubahan kebijakan secara adil. Khususnya bagi masyarakat adat dan tidak membeda-bedakan ras atau suku.
"Selama ini kita tahu bahwa sikap diskriminasi, rasis, dan intoleran terhadap orang Papua masih terus terjadi di ruang-ruang publik kita. Jika cara pandang ini masih menubuh tentu kebijakan yang adil tanpa memandang ras akan sulit ditegakkan," ujarnya.
Radius menjelaskan seharusnya cara negara memandang Papua dan melihat kondisi dan persoalan yang terjadi di Papua saat ini bukan lagi dengan kacamata 30 tahun lalu. Artinya harus ada perubahan mindset.
Ketika membuat kebijakan partisipasi masyarakat Papua, kata Radius, seharusnya memprioritaskan dan melibatkan warga Papua. Tentunya untuk meminimalisir konflik dan kebijakan agar tidak merugikan satu sama lain.
Berdasarkan data Auriga Nusantara, sebuah organisasi yang fokus pada pelestarian sumber daya alam di Indonesia, luas hutan provinsi Papua dan Papua Barat sekitar 33.847.928 hektare pada tahun 2022, namun setiap tahunnya terus mengalami penyusutan.
Penyebab penyusutan hutan di Papua ialah penebangan hutan (deforestasi) untuk kebutuhan industri di sektor perkebunan dan pertambangan.
"Jangan sampai hutan rusak lebih banyak disebabkan oleh sikap dan perilaku manusia dibandingkan akibat bencana alam. Perubahan pola pikir dan sikap etis manusia dalam berelasi terhadap alam juga sangat diperlukan," pungkasnya.
Sekadar informasi, poster All Eyes on Papua beredar di medsos menyusul gerakan All Eyes on Rafah yang digemakan warganet untuk menyuarakan penderitaan warga Palestina yang dibombardir Israel di Rafah.
Bedanya, All Eyes on Papua berlatar belakang isu soal hutan Papua yang akan dibabat untuk dijadikan perkebunan sawit yang luasnya disebut mencapai separuh Jakarta.
Tak hanya gerakan di sosial media, masyarakat adat Papua juga tengah memperjuangkan hak mereka atas tanah adat yang telah mereka tempati secara turun temurun.
Suku Awyu dan Suku Moi sampai menggelar unjuk rasa memakai baju adat di Jakarta pada Senin 27 Mei. Mereka menyuarakan penolakan soal pembabatan hutan jati kebun kelapa sawit itu.
***
Baca berita selengkapnya di sini.
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Sound Horeg Guncang Karnaval Urek Urek Malang
Status Global Geopark Danau Toba di Ujung Tanduk