Suku Dayak masih memegang teguh adat, termasuk soal pemakaman. Mereka tidak menguburkan jenazah di dalam tanah, melainkan meletakkannya di Rumah Mayat Kulambu.
Suku Dayak Taman yang tinggal di Desa Ariung Mendalam, Kecamatan Putussibau Utara, Kapuas Hulu punya tradisi unik dalam memakamkan jenazah. Seperti orang Toraja, mereka tidak menguburkan jenazah di dalam tanah, melainkan menyimpannya di dalam peti, lalu meletakkannya di dalam gubug-gubug kayu yang disebut Kulambu.
Dominikus Giling, Juru Rawat Rumah Mayat Kulambu pun mengajak rombongan detikTravel untuk menyambangi pemakaman adat milik suku Dayak Taman yang dijaganya. Dari Rumah Betang Semangkok tempat Giling tinggal, perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit melewati ladang dan hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai di tepi Sungai Menawing, di situlah Rumah Mayat Kulambu berada. Dulunya pemakaman ini ada di Sungai Tanang. Namun semenjak suku Dayak Taman pindah ke Rumah Betang Semangkok, pemakaman itu ikut pindah ke Menawing.
Pemakaman adat ini sudah ada sejak tahun 1906. Pemakaman ini hanya khusus bagi suku Dayak Taman beserta keluarga, serta anak keturunannya. Total ada 14 rumah Kulambu tempat para jenazah disemayamkan.
![]() |
Di setiap Kulambu, jenazah tersebut disimpan dalam peti mati kayu. Ada perbedaan antara peti mati laki-laki dan perempuan.
"Kalau laki-laki, dia agak besar. Kalau perempuan lebih ramping. Kalau yang meninggal perempuan masih muda, rambutnya tidak boleh dimasukkan ke dalam peti, harus digerai ke luar peti mati. Ada pamalinya," kisah Giling.
Pamalinya, nanti arwah si wanita ini bisa tidak tenang. Kemudian arwah itu akan pergi menghantui keluarganya, bahkan bisa turut serta membawa anggota keluarga yang dikasihinya (misalnya anak) untuk menyusul dirinya ke alam lain.
![]() |
Sebelum diletakkan di Kulambu, jenazah sudah dibalsem agar awet. Bersama dengan peti mati si jenazah, diletakkan pula benda-benda kesayangan yang digunakan si jenazah semasa hidup. Ada yang membawa radio, alat ladang, bahkan pakaian. Pakaian itu ada yang diletakkan di dalam tas, bahkan koper.
Tidak bisa sembarangan untuk bisa dimakamkan di Rumah Mayat Kulambu. Harus melalui ritual adat yang disebut Gawai Mulambu, berupa pesta adat memberi makan sajian bagi keluarga dan para tamu undangan selama beberapa hari. Biaya untuk menggelar pesta adat ini tidak sedikit, bisa mencapai lebih dari Rp 200 juta.
"Harus ada pesta yang meriah. Gawai Mulambu. Jenazah dibawa ke sini pakai kapal dan disambut tembakan meriam dan iringan musik. Semua orang datang dan memberi penghormatan. Tamu yang datang diberi sajian, potong babi," kata Giling.
Selama menjadi Juru Rawat Rumah Mayat Kulambu, sudah tak terhitung lagi berapa banyak pengalaman mistis yang dialami oleh Giling. Kebanyakan adalah suara-suara, dari suara menangis, ribut-ribut hingga suara binatang pun pernah dia dengar, tapi tak sekalipun melihat wujudnya. Oleh karena itu, Giling hanya berani berkunjung ke sini saat siang hari. Giling juga harus membawa serta teman untuk ke sini.
Rumah Mayat Kulambu ini pun ditetapkan jadi Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Namun sayang, karena dimakan usia, kondisi beberapa Kulambu sudah sangat memprihatinkan. Ada yang reyot, bahkan miring dan nyaris roboh.
Butuh perhatian dari dinas terkait untuk merawat Benda Cagar Budaya ini, karena Giling sendirian tidak akan sanggup merawat amanat warisan dari para leluhurnya.
"Kadang dilema juga, mau kita perbaiki tapi ini Benda Cagar Budaya. Ada aturannya, kalau melanggar ada dendanya. Kami jadi takut mau perbaiki (Rumah Mayat Kulambu)," pungkas Giling.
---
Program Tapal Batas mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan khususnya di masa pandemi. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!