Buat Goweser, Simak Pengalaman Kang Hendra di Race Terberat di Dunia Nih

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Buat Goweser, Simak Pengalaman Kang Hendra di Race Terberat di Dunia Nih

Femi Diah - detikTravel
Sabtu, 04 Sep 2021 08:12 WIB
Hendra Wijaya di Silk Road Mountain Race
Foto: dok. Hendra Wijaya
Jakarta -

Hendra Wijaya (55) berhasil mencapai garis finis Silk Road Mountain Race 2021 di Kirgizstan. Hendra bilang view sepanjang perjalanan amat menawan, namun jalurnya gila. Berani mewakili Indonesia berikutnya?

Silk Road Mountain Race merupakan adu balap sepeda gravel terbuka, siapapun boleh ikut. Namun, bukan berarti tidak ada kualifikasi.

Faktanya, Hendra tidak memiliki pengalaman bersepeda ekstrem di lokasi ekstrem, apalagi seperti Silk Road Mountain Race. Ya, balapan ini menyuguhkan ketinggian ekstrem, medan tidak biasa, cuaca dingin, dan dilakukan dalam tempo cukup panjang 14 hari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hendra juga sempat sama sekali tidak bersepeda, bahkan untuk bersepeda santai sekalipun, selama tiga tahun terakhir. Tangannya cedera.

"Saat saya harus menanyakan pendaftaran, panitia langsung merespons dengan memberikan formulir lima sampai tujuh halaman. isinya pertanyaan pengalaman-pengalaman peserta. Tampaknya, dari situ panpel bisa mengira-ira apakah kita memenuhi kualifikasi atau tidak," kata Hendra dalam perbincangan dengan detikTravel.

ADVERTISEMENT

[Gambas:Instagram]



Kendati tidak memiliki pengalaman bersepeda di gravel di medan ekstrem, namun Hendra adalah pelari ultra trail yang tangguh.

Dia berpengalaman berlari di medan ekstrem yang bisa jadi merupakan jalur kematian, di antaranya Gunung Himalaya Great Himalaya Race, Kutub Utara Denali, juga Ultra Trail Mont Blanc, serta Southern Force, dan Transpyrenea di Prancis. Komplet, dari medan bersalju, panas di gurun, ataupun dalam durasi yang panjang.

Ya, dia bukan berlari dengan jarak maraton, namun bisa mencapai ribuan kilometer dalam tempo 40-45 hari. Hendra berlari di suhu udara yang bukan tropis, bisa minus 70 derajat celcius atau mencapai 40 derajat celcius.

Singkat cerita, Hendra dinyatakan lolos untuk tampil di balapan yang dihelat 13 sampai 28 Agustus 2021 sepanjang 1.800 km dengan ketinggian bervariasi, bisa sampai 3.700 mdpl. Start dimulai dari Talas di Kirgizstan barat dan finis di Balykchy.

"Panpelnya bilang saya layak untuk ikut race itu sebulan sejak saya mendaftar," ujar Hendra.

Terpukau View Pegunungan dan Jalanan Kirgizstan

"Sesampainya di Kirgizstan, saya melihat view-nya benar-benar hebat. Pegunungannya berlapis-lapis, tetapi semua terhubung dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan, tidak terputus," ujar Hendra.

Kirgizstan juga memiliki sejarah sip. Jalanan di Kirgizstan merupakan jalur sutera yang sohor di masa Dinasti Han pada 206 hingga 2020 Masehi yang menghubungkan Asia dengan Eropa. Jalur sutera ini masuk daftar situs warisan dunia UNESCO sejak 2014.

Dalam race ini terdapat empat check point dan 20 resupply atau tempat mengisi bekal. "Jangan dibayangkan tempat resupply (tempat belanja makanan) jaraknya berdekatan. Sepanjang jalan jarang ada warung makan dan perkampungan," ujar Hendra.

Resupply itu lebih sering merupakan tenda penggembala. Bahkan, hotel dan penginapan tidak selalu ada di tiap titik perlombaan. So, para peserta pun harus berbekal tenda dan peralatan tidur, seperti sleeping bag dan jaket, agar bisa tetap beristirahat dengan nyaman. Soalnya suhu udara bisa minus di beberapa lokasi.

[Gambas:Instagram]



Namun, dengan batas waktu 14 hari, Hendra bilang, peserta paling lama tidur tiga hingga lima jam. Sebabnya, sering kali medan yang dilalui berupa pegunungan dan akan lebih aman jika bermalam di lembahan. Bahkan, tidak sekali dua kali, jalur memiliki gradien 70 persen. Ketinggian paling ekstrem adalah di Gunung Tian Shan.

Selain itu, dia mengantisipasi agar tidak kemalaman di jalan. Sebabnya, kerap kali rute yang dilalui sangat sempit.

"Bahkan, kaki dan roda sepeda berebut untuk dapat jalan. Ini yang tidak memungkinkan untuk tetap bersepeda di malam hari. terlalu berbahaya," kata dia.

"Belum lagi kalau hujan es, bukan salju yang lembut, namun es sebesar kacang sukro. Tetapi, mengingat batas waktu balapan, kami harus tetap gowes," ujar Hendra.

Halaman berikutnya >>> Hendra Gowes Lambat namun Konsisten

Modal Tabah, Kemampuan Mountaineering, dan Survival

Dengan tidak memiliki pengalaman di race balapan sepeda gravel yang ekstrem, Hendra menyebut dirinya paling lemah ketimbang peserta lain. Bahkan, dibandingkan para peserta perempuan.

"Saya mengakui saya yang paling lemah di antara peserta dalam balap sepeda ini. Sudah begitu saya pakai flat pedal, bukan cleat. Ini memperlambat. Selain itu, peserta lain jago-jago banget di tanjakan, bahkan peserta perempuan," kata Hendra.

Tetapi, pengalaman panjang Hendra di lari ultra trail menjadi bekal tersendiri. Dia mampu mengatasi minimnya makanan, jam tidur, dan kesendirian untuk sampai di garis finis sebelum waktu habis.

"Pergerakan saya memang lambat, namun dengan kemampuan survival dan endurance saya bisa mengimbangi peserta lain. Mereka rata-rata butuh waktu tidur yang banyak sedangkan saya cukup tiga sampai empat jam," Hendra mengisahkan.

Makanya, Hendra tidak pernah mematok target waktu harian. Dia memilih untuk menentukan titik camp untuk menutup balapan per hari.

"Selain itu, saya memiliki kemampuan mountaineering. Di GPS memang ada penunjuk trek, tetapi belum tentu jalurnya bisa dilalui. jaid, kami harus mencari sendiri rute yang memungkinkan untuk dilalui sepeda dan itu bukan rute yang dekat dengan yang ada di trek GPS," kata dia.

Soal kemampuan bertahan hidup di alam terbuka, Hendra juga sudah cukup terlatih. Dia biasa menahan lapar namun tetap harus berlari jarak jauh.

Tetapi bukan berarti soal perut ini Hendra enggak pernah mengalami masalah. Karena salah perhitungan, dia sempat tidak memilik bekal makanan selama gowes 250 km. Bekalnya habis sebelum bertemu dengan tenda-tenda penggembala.

"Walaupun belum berpengalaman bersepeda, kalau soal survival sudah lumayan nglotok. Di sini enggak ada resupplay atau tempat yang jual makanan jaraknya jauh dan jangan anggap restoran, warteg, kebanyakan adanya roti di warung. Itu pun jaraknya bisa ratusan km," ujar Hendra.

[Gambas:Instagram]



"Untuk persediaan air minum tidak masalah, air banyak. Bahkan, setelah botol minum saya hilang di tengah race karena jatuh dan saya masih bisa mendapatkan air minum dengan mudah," Hendra menambahkan.

Di race itu, akhirnya Hendra finis tepat di hari ke-14. Dia mencapai Balykchy di urutan ke-36. Hendra termasuk 46 peserta yang bsia mencapai finis dari 94 yang mengikuti start di Talas.

Race itu dimenangi oleh Sofiane Sehili yang menyelesaikan balapan dalam tempo delapan hari, 14 jam, dan 35 menit di kategori umum. Adapun pemenang putri adalah Jenny Tough yang merampungkan race dalam waktu 11 hari, 14 jam, dan 6 menit.

Hendra berharap ada goweser Indonesia lain yang menjajal Silk Road Mountain Race itu. Ayo, siapa berani mengikuti jejak Hendra Wijaya?


Hide Ads