Desa Wisata Krebet dikenal sebagai penghasil batik kayu. Namun di masa pandemi COVID-19, desa ini mulai kehilangan pembeli kerajinan itu.
Dalam Ekspedisi 3.000 Kilometer bersama Wuling, detikcom mampir ke desa tersebut pada Oktober lalu. Desa ini memiliki keunikan yakni memproduksi berbagai perabotan dan karya seni dari kayu yang diukir layaknya batik.
Desa Wisata Krebet ini terletak di Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari pusat Kabupaten Bantul, tak butuh waktu lama untuk menjangkau desa ini. Jaraknya sekitar enam kilometer atau ditempuh dalam waktu 15 menit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sepanjang jalan, traveler akan disuguhi pemandangan yang apik dari pohon-pohon jati dan sengon. Suasananya begitu asri dan tenang.
detikcom sampai di lokasi sekitar pukul 14.00 WIB. Kala itu, suasana begitu sepi. Tak banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat di sana.
![]() |
Kesan ini sungguh berbeda dengan titel desa wisata dan sentra batik kayu yang disandang Desa Krebet. Barulah ketika kami bertemu dengan Ketua Desa Wisata Krebet, Agus Jati Kumara, kami menemukan geliat aktivitas perajin yang sedang membuat pesanan kerajinan kayu di bengkel yang dimilikinya.
Agus menjelaskan, saat ini permintaan batik kayu memang sedang lesu. Apalagi di masa awal pandemi COVID-19 merebak di Indonesia, permintaan bahkan nihil.
"Kalau penjualan batik kayu ini dari awal pandemi mengalami penurunan. Hampir satu bulan pertama pandemi itu diberitakan, kita hampir nggak ada permintaan," katanya.
![]() |
Agus membandingkan kondisi penjualan batik kayu sebelum pandemi COVID-19, kondisinya memang jauh berbeda. Terutama untuk pangsa pasar turis mancanegara, saat ini hampir tak ada sama sekali.
"Kalau permintaan dulu banyak dari tamu yang datang. Biasanya sehari bisa 5-10 mobil yang cari oleh-oleh atau suvenir untuk dibawa pulang. Selama pandemi ini nggak ada sama sekali. Awal pandemi pada takut, lalu ditambah ada pembatasan-pembatasan," ujarnya.
Di masa kejayaannya, batik kayu ini banyak dibeli oleh orang-orang Jepang hingga China. Pesanan dari berbagai daerah di Indonesia juga lancar.
![]() |
Artikel tentang Desa Krebet ini berlanjut di halaman berikutnya:
"Kita sudah sejak beberapa tahun lalu coba posting di beberapa marketplace dan sosial media untuk menawarkan produk kita. Hasilnya ya lumayan," kata dia.
Lesunya penjualan batik kayu juga berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Agus menuturkan di Desa Wisata Krebet ini ada 43 rumah produksi batik kayu tetapi saat ini yang aktif hanya 10. Dari yang mulanya ada sekitar 400 tenaga kerja di industri batik kayu, sekarang tinggal 80-100 orang saja yang bekerja.
"Teman-teman sekarang ada yang berubah jadi jualan makanan, buka toko kelontong, jadi tukang bangunan, tukang batu, pokoknya apapun yang bisa dikerjakan untuk mencukupi kebutuhan," paparnya.
Agus pun berharap di masa depan pemerintah dapat lebih memperhatikan para perajin. Selain itu diharapkan pula agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan kondisi di setiap daerah.
"Harapannya pemerintah dalam mengambil kebijakan tidak hanya sepihak. Pemerintah harus melihat keadaan di lapangan seperti apa, apakah perlu semuanya dibatasi atau tidak. Kita juga butuh dorongan dari pemerintah untuk pengembangan kegiatan perajin dan pariwisata agar diperhatikan lagi. Berharap ada perhatian khusus," ucapnya.
Simak Video "Video: Ide Oleh-oleh dari Yogyakarta yang Anti Mainstream"
[Gambas:Video 20detik]
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum