Pinang, pinang, dan tenun tidak bisa dipisahkan dengan adat dan kehidupan sehari-hari warga Malaka, perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Juga menjadi sapaan selamat datang.
"Selamat siang," sapaan itu mudah sekali didengar dari warga Malaka yang merupakan perbatasan Indonesia dan Timor Leste dan ditandai dengan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motamasin, memagari Kobalima dengan Salele, Distrik Komvalima. Dari anak-anak, ABG, juga orang tua kepada warga lain atau orang asing yang lewat.
Keramahan mereka, warga Malaka sama di mana-mana. Tidak ada malu-malu untuk menyapa lebih dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andai melanjutkan dengan bertamu di rumah penduduk Malaka, yang merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berjarak sekitar 230 km dari Kupang, traveler bakal mendapatkan tambahan keramahan mereka. Mama pemilik rumah bakal menyajikan kotak yang isinya sirih, pinang, dan kapur.
Salah satu ibu yang menyambut tim tapal batas detikcom menyebut kapur itu dibuat dari kotoran kerbau yang dikeringkan. Tambahan kapur membuat sirih dan pinang makin enak di mulut.
"Ayo, ini bagian dari adat di sini. Pertama akan keluar sirih dan pinang ini, kemudian nanti berlanjut segelas minuman, lama-lama keluar sudah makanan," kata hampir seluruh pemilik rumah di Malaka yang kami singgahi.
Pinang (Areca Catechu), daun sirih (Piper Betle) memang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari warga Malaka. Mereka bilang mulai mengunyah sirih dan pinang yang biasanya diracik bersama kapur sejak masih kanak-kanak.
"Berapa kalinya tidak tentu, tidak seperti makan tiga kali sehari. Mengunyah siri dan pinang dilakukan kapan saja, habis makan, saat ngerumpi, saat nonton TV, di semua waktu," ujar Yoseph Nahak (65), warga Kabupaten Malaka, NTT, memiliki kebun sirih di belakang rumahnya.
![]() |
Raja Liurai Malaka XV, Dominikus Kloit Tey Seran, menyebut pinang dan sirih memang sudah semestinya disodorkan kepada para tamu yang berkunjung. Itu bagian dari penghargaan tuan rumah kepada tamu.
"Soal tamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting, tuan rumah harus menyajikannya," kata Raja Kloit yang juga seorang penutur sejarah.
"Itu sebagai sebuah penghargaan tuan rumah kepada tamu yang berkunjung. Filosofi daun sirih dan pinang, cuma daun ya, ini tinggi sekali buat kami orang Malaka. Ini simbol keberanian dan kekuatan orang Timor," dia menambahkan.
Selain dengan sirih dan pinang, warga Malaka menyambut kedatangan tamu dengan mengalungkan kain tenun ke leher. Tenun yang diberikan kepada tamu merupakan tenun ikat yang dibuat oleh mama-mama dan remaja putri Malaka. Ada yang mengalungkan selendang tenun kecil, ada pula yang lebar.
"Itu juga tradisi di Malaka, sejak leluhur. Siapa saja tamu yang berkunjung dan dikalungi selendang tenun di leher berarti tuan rumah menganggap sebagai keluarga, kedatangan mereka diterima," ujar Raja Kloit.
Raja Kloit bilang lebar selendang tidak menentukan nilainya. Warga Malaka juga tidak merasa dirugikan dengan tradisi itu.
Ya, selendang tenun bukan barang yang bisa dibuat secara instan. Dari perbincangan detikTravel dengan sejumlah penenun tradisional di Malaka, satu lembar kain tenun kecil dibuat rata-rata selama tiga hari. Jika dinominalkan, harganya sekitar Rp 150-200 ribu.
"Jangan dinilai dari rupiahnya. Itu sebuah penghargaan," Raja Kloit menegaskan.
***
detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan khususnya di masa pandemi. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus beritanya di tapalbatas.detik.com!
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda